Terdapat beberapa langkah strategis yang termuat dalam Perpres ini, seperti di sektor energi dan transportasi, kebijakan yang akan dilakukan adalah peningkatan penghemat energi, penggunaan bahan bakar yang lebih bersih, peningkatan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT), peningkatan teknologi bersih baik untuk pembangkit listrik, dan pengembangan transportasi massal. Hal yang sama berlaku untuk semua sektor dengan mengedepankan pembangunan berkelanjutan.
Dalam upayanya mengimplementasikan Perpres ini dengan ambisi mengurangi laju emisi GRK sebesar 26 persen menemukan sejumlah kendala. Seperti ketergantungan Indonesia untuk menggunakan bahan bakar yang berasal dari fosil masih sangat tinggi. Menurut Kementrian Energi Sumber Daya Alam, sumbangan energi fosil dari seluruh pembangkit listrik Indonesia mencapai 60.485 MW setara 85,31 persen dari total kapasitas terpasang nasional. Batubara menjadi penyumbang utama. Jumlah kapasitas pembangkit listrik terpasang dari PLTU misalnya mencapai 35.216 MW setara 49,67 persen dari total kapasitas nasional 70.900 MW.
Sedangkan penggunaan energi baru terbarukan di Indonesia terbilang masih sangat minim. Dalam beberapa kesempatan pernyataan pemerintah berbeda. Dilansir dari situs resmi ESDM target penggunan EBT tahun 2025 sebesar 23 persen, sementara tahun 2018 penggunaan EBT baru mencapai 8, 55 persen, , disisi yang lain tergetnya penggunaan EBT sudah mencapi 13 persen tentu target ini akan terasa sangat sulit teralisasi terlebih political will pemerintah hari ini cenderung menjauh dari pembangunan berkelanjutan dan keadilan ekologis.
Hal ini bisa berkaca dari serangkain kebijakan pemerintah yang masih saja memberikan ruang penggunaan fosil terutama batubara sebagai pembangkit listrik utama di Indonesia, bahkan revisi Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara memberikan keleluasan bagi korporasi untuk memperpanjang ijin kontraknya dengan mudah tanpa adanya proses assement yang mendalam dan pertimbangan akan keselamatan lingkungan, bahkan dalam revisi ini luasan eksplorasi tambang diperluas dua kali lipat dari sebelumnya yakni sekitar 50 ribu hektar. Â
Selain merevisi UU Minerba, pemerintah juga turut mensahkan UU No 11 tahun 2020  tentang Cipta Kerja, undang-undang yang digagas dalam bentuk Omnibus Law ini memuat serangkaian aturan kontroversial salah satunya di klaster lingkungan hidup. Dihapusnya pertanggungjawaban mutlak (strict liability), penyederhanaan ijin Analisa Terhadap Dampak Lingkungan (AMDAL) dan ijn lingkungan, dan antiklimaksnya adalah ketika keberlanjutan dari lingkungan hidup ditentukan oleh proses perizinan dan pengawasan, artinya negara meletekkan keberlangsungan lingkungan hidup  di tangan korporasi.
Deforestasi juga turut mempengaruhi emisi GRK. Pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup (KLHK) mengklaim interval 2019-2020 berhasil menurunkan deforestasi sebesar 75,03 persen, hingga berada pada angka 115,46 ribu ha. Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018-2019 sebesar 462,46 ribu ha. Namun, ini tidak menghilangkan angka deforestasi dari tahun 2009 hingga 2018 seluas 2,57 juta hektar. Maka, zero deforestasi dan konservasi hutan adalah sebuah keharusan apabila indonesia komitmen mengurangi laju emisi GRK.
Berdasarkan uraian tersebut, pernyataan Jokowi yang mengatakan sangat konsern terhadap perubahan iklim saat bertolak ke eropa patut dipertanyakan dan ditagih ketika ia kembali ke tanah air, sebab faktanya komitmen terhadap perubahan iklim yang terjadi tidak sejalan dengan tindak tanduk pemerintah serta serba serbi kebijakannya yang cenderung mengabaikan keberlangsungan dari lingkungan hidup.
Solusi Perubahan Iklim
Perubahan iklim terjadi secara signifikan dimulai pasca lahirnya revolusi industri abad ke-12. Sejak itu pola produksi mengalami perubahan yang cukup drastis. Pola produksi yang tadinya menyerupai seni kriya berubah menjadi pola produksi massa. Kehadiran alat-alat canggih mengubah mindset manusia untuk menguasai dibandingkan membagi, proses transaksi yang sebelumnya hanya memenuhi kebutuhan, menjelma menjadi akumulasi.Â
Hal ini berpengaruh terhadap pola dan sistem penguasaan lahan, seperti ekonomi pasar yang membuka peluang seluas-luasnya untuk akumulasi kapital mendorong pengusaha tani mengubah ekosistemnya, dampaknya tidak hanya terhadap lingkungan, melainkan aspek sosial dan kebudayaan mereka.
Pola produksi ini juga berlaku di tingkatan negara, perhitungan keberhasilan suatu negara melalui Gross Domestik Produk, terbukti mengesampingkan biaya eksternalitas, biaya sosial, dan biaya masa depan. Faktor kerusakan lingkungan, depresi sumber daya alam dan degradasi kualitas kesehatan diabaikan. Padahal penyusutan kualitas lingkungan amat berpengaruh terhadap kelangsungan produk itu sendiri.