Peningkatan suhu bumi ini akan dibarengi dengan terjadinya fenomena lanjutan seperti perubahan frekuensi dari El Nino atau peningkatan suhu muka laut di sekitar pasifik tengah dan timur dan La Nina atau suhu permukaan laut mengalami penurunan, kebakaran hutan, banjir serta meningkatnya kejadian puting beliung.Â
Dampak dari perubahan iklim ini akan dirasakan langsung oleh negara-negara yang secara kedudukan geografis berada di dataran rendah dan negara kepulauan (arcipelago state). Indonesia yang berada di dua zona tersebut tentu harus menyadari realitas tersebut bahwa ancaman perubahan iklim tersebut nyata terjadi.
Ancaman perubahan tersebut kini nyata terjadi di depan mata, menurut catatan Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB), perubahan iklim telah mengakibatkan resiko bencana hingga 80 persen dari total bencana yang terjadi di Indonesia. beberapa diantaranya adalah badai seroja yang menimpa sejumlah kabupaten kota di Nusa Tenggara Timur (NTT), banjir rop di berbagai daerah di pulau jawa, kekeringan dan ancaman gagal panen.
Ancaman lain yang turut menghantui adalah turunnya permukaan tanah di berbagai daerah. Berdasarkan hasil pantauan satelit, DKI Jakarta antara 0,1 cm hingga 8 cm per tahun, Cirebon antara 0,3 cm hingga 4 cm per tahun, pekalongan antara 2,1 cm hingga 11 cm per tahun, semarang antara 0,9 cm hingga 6 cm per tahun, dan surabaya antara 0,3 hingga 4,3 cm per tahun.
Selain ancaman turunnya permukaan tanah di berbagai daearah, secara ekonomi ancaman perubahan iklim ini akan menyerap atau menghabiskan dana dengan nominal  yang cukup fantastis. Badan Percepatan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan, letak indonesia yang banyak dikelilingi garis pantai, potensi kerugian untuk interval 2020-2024,  total kerugian mencapai 544 triliun rupiah. Hal senada juga diungkapkan kementrian keuangan yang mengatakan potensi kerugian dapat mencapai 0,66 persen sampai 3,45 persen dari pendapatan domestik bruto pada 2030.
Komitmen Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negara yang terlibat dalam pertemuan ini sekaligus turut meratifikasi perjanjain paris melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 Tentang Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka  Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim patut ditagih komitmennya dalam upaya mencegah perubahan iklim.
Joko Widodo sebelum bertolak ke pertemuan Cop26 mengatakan, posisi Indonesia dalam isu perubahan iklim sangat konsisten. Indonesia akan terus bekerja keras memenuhi komitmen yang telah dibuat. Menurutnya, peran Indonesia dalam isu perubahan iklim sangat penting dan strategis karena merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis dan hutan mangrove terbesar di Indonesia.
Pernyataan Joko Widodo patut disimak dan dipertanyakan. Benarkah demikian? Benarkah Indonesia sangat konsisten dalam menanggulangi isu perubahan iklim ini? Kemudian, sudah sejauh mana langkah antisipasi dan mitigasi yang sudah disiapkan pemerintah untuk mengatasi perubaham iklim? Ungkapan sangat konsisten agaknya sedikit berlebihan sebab Indonesia sendiri belum menjadi negara yang memiliki kepedulian yang cukup tinggi terkait perubahan iklim.Â
Menurut laporan Climate  Change Performance  Index (CCPI) Indonesia memiliki skor performa perubahan iklim sebesar 53,59 poin atau dalam kategori sedang. Penilaian ini berpedoman pada sejumlah indikator seperti emisi gas rumah kaca, penggunaan energi baru terbarukan, dan kebijakan iklim.
Indonesia sendiri dalam upayanya mengurangi gas rumah kaca  telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) berkomitmen untuk mengurangi emisi rumah kaca sebesar 26 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan Internasional pada 2030 itu artinya, target Indonesia besar sekali untuk mengurangi emisi GRK, di mana untuk sektor energi sendiri mencapai 314 juta ton CO2 dengan kemampuan sendiri dan sebesar 392 juta ton CO2 dengan bantuan internasional