"Sejarah dunia adalah sejarah anak muda apabila anak muda mati rasa maka matilah sejarah sebuah bangsa," - Pramoedya Ananta Toer-
Jejak perjuangan bangsa Indonesia dimulai dari pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan selalu diwarnai oleh perjuangan kaum muda. Hal tersebut dapat kita buktikan melalui literasi-literasi dari berbagai sumber baik dari media cetak maupun media massa.Â
Pun demikian dengan peradaban dunia, dibalik perubahan besarnya ada anak muda dibaliknya sebut saja Che Guavara dalam pembebasan Amerika latin, Antonio Gramsci melalui tulisannya menentang rezim Benito Mussolini, dan lain sebagainya. Maka, apa yang disebutkan oleh Pramoedya Ananta Toer diatas bukanlah isapan jempol belaka.
Seiring berjalannya waktu terbesit pertanyaan, bagaimana dengan gerakan kaum muda hari ini? yang kini sebagian dari mereka menjelma menjadi mahasiswa.Â
Apabila kita ingin jujur, berkaca dengan situasi saat ini meminjam istilah Freidrich Nietzcshe, "Lonceng kematian" gerakan mahasiswa sudah terdengar menggema ke gendang telingan kita. Â hal tersebut bukanlah tanpa alasan namun fakta-fakta yang dilapangan tak dapat kita tutupi. ijinkanlah penulis sampaikan beberapa alasan mengapa penulis mengatakan demikian.Â
Pertama, tergerusnya Idealisme Mahasiswa. Â suatu waktu salah satu tokoh revolusioner bangsa ini yang terkenal dengan slogannya, "Merdeka 100 persen", Tan Malaka pernah mengatakan," salah satu yang istimewa yang dimiliki anak muda yakni Idealisme." Dengan semangat itulah para pemuda turut serta menggoreskan tinta emas peradaban bangsa ini. Â
Namun, faktanya hari ini semangat tersebut tak lagi kita warisi. perubahan zaman   dan perkembangan teknologi mengubah pola pikir kita menjadi individualis, apatis, dan cenderung hedon. tugas kita sebagai kontrol sosial kita lewatkan begitu saja, kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat sering kali habis di meja diskusi tanpa adanya perjuangan dan perlawanan.
Kedua, merasa tidak memiliki beban.  Hal ini memang terdengar sederhana namun begitulah adanya.  kegagalan kita mewarisi semangat perubahan  oleh para pendahulu kita berdampak pada abstainnya  mahasiswa dalam gerakan sosial.  gerakan masyarakat menolak pabrik semen di kendeng justru dipelopori oleh emak-emak, kasus di kulon progo juga digerakkan oleh LSM, perjuangan dalam pembebasan lahan di beberapa daerah juga minim partisipasi mahasiswa. Seharusnya mahasiswa sebagai pewaris perubahan bangsa ini hadir ditengah-tengah mereka sebagai motor gerakan dan pemeran utama didalamnya.Â
Ketiga, glorifikasi masa lalu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian glorifikasi tidak dapat kita temukan. Namun, berdasarkan dari berbagai sumber Glorifikasi yakni, suatu tindakan atau aksi  yang terkesan melebih-lebihkan  sehingga segala sesuatunya tampak luar biasa, hebat, dan seolah-olah tak ada celah.Â
Fenomena ini sering dialami oleh mahasiswa zaman sekarang, kita cenderung terjebak dalam kisah-kisah hebat mahasiswa era orde lama, orde baru,  maupun era reformasi.  Kisah-kisah heroik menjadi santapan di meja diskusi  selepas itu berakhir begitu saja  tanpa pernah berpikir menciptakan sejarah sendiri.  kita begitu bangga menceritakannya dan asik menarisakanya hingga lupa dengan mereka yang sangat membutuhkan kehadiran kita.Â
Keempat, kehilangan orientasi gerakan. Â Terjebaknya kita dalam glorifikasi masa lalu mengantarkan pola pikir yang monoton. Artinya gerakan mahasiswa hari ini cenderung hanya berpikir menaklukan penguasa, melawan penguasa padahal gerakan mahasiswa tidak hanya tentang itu melainkan gerakan mahasiswa harus mampu mengisi sendi-sendi di masyarakat yang saat ini minim dirasakan. Â
Advokasi dan edukasi masyarakat adalah satu hal yang luput dari gerakan mahasiswa. dengan demikian sulit rasanya membangun gerakan komunal. Bahkan, aksi-aksi mahasiswa di jalanan cenderung dinilai politis oleh masyarakat.Â
Kelima, minim esensi surplus eksistensi.  Pernah dengar istilah aktivis sosmed ? buat sebagian kalangan mahasiswa yang mengklaim dirinya aktivis memanfaatkan sosial media sebagai sarana menabung eksistensi tanpa pernah berpikir terjun langsung ke masyarakat dan hadir di tengah-tengah mereka untuk mendengarkan keluh kesah mereka. lantas, apa bedanya kita dengan politisi-politisi ?  seharusnya  media sosial menjadi sarana perlawanan kita bukan menjadi tempat berburu eksistensi apalagi menaikkan nilai bergainning.Â
Yang terakhir, minim literasi. Â Saat terjadi pembakaran buku-buku kiri oleh pihak aparat mereka yang mengklaim dirinya aktivis begitu reaksioner dan tidak terima dengan hal tersebut, seolah-olah kita lah yang paling dirugikan oleh pembakaran tersebut. Joseph Brodsky penerima Nobel Sastra 1987 pernah mengatakan, " membakar buku adalah sebuah kejahatan tetapi ada lagi yang lebih jahat yakni, tidak membaca buku." Â
Apabila keenam ahal ini terus dipelihara oleh gerakan- gerakan mahasiswa maka, bukan tak mungkin lonceng kematian tersebut akan semakin nyaring terdengar di telinga kita masing-masing. oleh karena itu, menurut penulis apabila gerakan-gerakan mahasiswa masih ingin hadir dalam sejarah bangsa  ini perlu kiranya kita merefleksikan kembali gerakan-gerakan kita kemudian mentransformasi gerakan kita sehingga kita tidak terjebak dalam aksi-aksi yang konvensional.Â
Semoga apa yang saya sampaikan tidak benar adanya, semoga gerakan mahasiswa masih relevan adanya, dan masih nyata m dirasakan masyarakat  manfaatnya. Karena kalau tidak,  kita lah aktor utama yang akan menjadi tukang gali kubur yang akan  memakamkan gerakan mahasiswa dalam kertas sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H