Mohon tunggu...
Ulul Husna
Ulul Husna Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga yang nyambi menjadi Guru dan cerpenis

Saving the world means saving children's future

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kang Munir Kepingin Haji

6 Juni 2022   12:50 Diperbarui: 6 Juni 2022   13:17 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Malas daftar haji sekarang. Daftar tunggunya sampai tiga puluh tahun."

Kang Munir tepekur mendengar ucapan Hari. Kenikmatan kopi tubruk bikinan Mak Bro yang baru dia sesap tadi hilang seketika. Padahal pemuda itu masih dua puluh tiga tahun. Berapa usianya tiga puluh tahun lagi? Baru juga lima puluh tiga tahun. Pasti tidak akan ada kesulitan berarti untuk menjalankan rukun-rukun haji seperti tawaf yang harus mengelilingi Ka'bah selama tujuh putaran, atau sa'i yang harus berlari-lari kecil, bolak-balik yang ditotal hanya berjarak tiga kilo meter saja.

Namun berbeda dengan Kang Munir yang kini sudah lima puluh tahun. Apa kabarnya tiga puluh tahun mendatang? Dia pasti sudah sangat tua, kekuatan tubuhnya pasti akan berkurang banyak---bahkan mungkin hilang sama sekali. Bagaimana caranya untuk menyimpan tenaga untuk beribadah mengitari Ka'bah? 

Apa mungkin dia akan sanggup untuk berlari-lari kecil sepanjang tiga kilo meter? Beruntung jika dia memiliki uang saku yang banyak, mampu menyewa skuter listrik---seperti yang dilihatnya di TV---untuk melakukan perjalanan dari bukit Safa ke Marwah. Yang lebih buruk, Kang Munir tak sempat menikmati usianya sampai tiga puluh tahun lagi.

Padahal lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu sangat merindukan untuk berkunjung ke tanah suci.

"Jual saja tanahmu yang lima puluh ru itu, Kang. Ambil ONH Plus. Nggak usah nunggu tiga puluh tahun," usul Sunari, anak juragan melon di kampung Kang Munir yang mengetahui hasratnya menuju tanah haram, sambil menerima cangkir kopi kedua, yang diulurkan Mak Bro, emak-emak penjaga warung yang sering didatangi 'bro-bro' macam Hari dan Sunari ini.

Saran pemuda yang sering ngopi bareng Hari itu sedikit membuat hati Kang Munir tergiur. Namun, tanah lima puluh ru itu adalah satu-satunya harta berharga yang dia miliki, warisan orang tuanya belasan tahun silam. Lalu, jika dia menjual tanah itu, mau dikasih makan apa anak dan istrinya nanti? Apatah guna menunaikan ibadah haji jika saat pulang nanti dia dan keluarganya berkubang dalam kehidupan ekonomi yang tak pasti?

Kang Munir menggeleng lemah, selemah embusan asap rokok dari bibirnya yang membumbung perlahan, menuju kefanaan tak berbekas. Seperti angan Kang Munir yang serasa lenyap, terhalang kemustahilan yang bagai melingkupi orang-orang miskin macam dia.

"Berapa sih biaya daftar ke Mekah?" Lagi-lagi Hari membuka mulutnya dengan sinis.

"Bapakku dulu, tahun 2013, setor dua puluh lima juta untuk mendapat porsi haji. Berangkatnya sekitar tahun 2024. Tapi sepertinya mundur lagi, gara-gara si Covid."

Kang Munir terbelalak mendengar jawaban Sunari. Dua puluh lima juta? Itu baru uang pendaftarannya saja. Belum uang pelunanasan. Berapa juta lagi yang harus dibayarkan? Bukan jutaan yang biasa dipegang oleh tangan kasar Kang Munir, bahkan tak pernah sama sekali. Tangannya lebih akrab menggenggam cangkul dan sabit, daripada gepokan uang yang untuk membayangkannya saja otaknya tak sampai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun