Mohon tunggu...
bilhaq
bilhaq Mohon Tunggu... Guru - Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

prodi MPI Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Wujudkan Kepemimpinan Transformasional Lembaga Pendidikan dengan Pendekatan BAGJA

30 Oktober 2024   11:00 Diperbarui: 30 Oktober 2024   11:05 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: PIXABAY

oleh :

Ayi M. Sirojudin, kelasasj@gmail.com (Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

"Kita mengalami kegagalan dalam mengatasi tantangan  zaman, itu dikarenakan kita buta terhadap dimensi kepemimpinan dan perubahan transformasional yang lebih dalam"(Scahrmer dalam Modul Pendidikan Berbasis Kasih Sayang CGP Jabar: 2024)

Perubahan transformasional merupakan proses perubahan fundamental dalam struktur, sosial, budaya, praktik, untuk mencapai satu tujuan. Dalam dunia pendidikan, perubahan transformasional berarti usaha untuk menciptakan satu lembaga pendidikan yang lebih adaptif, inovatif, dan responsif terhadap segala perubahan sosial maupun budaya yang terjadi saat ini. Konsep ini telah memaksa para pemangku kebijakan dalam dunia pendidikan dari mulai pimpinan tertinggi, pimpinan sekolah, guru, untuk merubah paradigma berpikir dalam mengatur dan mengelola Lembaga pendidikannya secara konprehensif dan berkelanjutan, supaya dunia pendidikan ini senantiasa sesuai dengan konteks dan kebutuhan zaman.

Paradigma yang dimaksud adalah sebuah paradigma berpikir tentang bagaimana mengelola pendidikan ini, tidak hanya terbatas pada kerangka perbaikan operasional atau peningkatan kinerja harian, tetapi lebih pada perubahan mendalam berkaitan dengan cara kerja, metode pengajaran, dan budaya sekolah secara kolaboratif dan positif. Seorang pakar manajemen pendidikan Michael Fullan (2002) menjelaskan bahwa tujuan kepemimpinan tranformasional adalah sebuah untuk menciptakan kondisi di mana seluruh komponen lembaga pendidikan dapat saling mendukung atau berkolaborasi dalam mencapai tujuan jangka panjang yang lebih besar, yaitu pembelajaran yang relevan, sesuai dengan kontek zaman, dan berkualitas tinggi.

Menyadari akan hal tersebut di atas, Kemendikbudristek pada era presiden Jokowi yang dikomandoi oleh Nadim Makarim, membuat beberapa terobosan dan perubahan di dunia pendidikan -- terlepas dari beberapa kontroversi yang ada --,   salah satunya yang paling fenomenal adalah perubahan kurikulum, yang dikenal dengan istilah kurikulum merdeka.

Kebijakan penerapan kurikulum merdeka ini adalah salah satu jawaban pemerintah terhadap pentingnya menerapkan gaya kepemimpinan transformasional bagi para kepala sekolah maupun guru. Fokus utama kurikulum merdeka yang penulis pahami adalah bagaimana merubah pola pembelajaran yang semula teacher centred menjadi pembelajaran yang lebih berpusat pada murid, suatu system pembelajaran yang menekankan pentingnya seorang pemimpin lembaga pendidikan atau guru memahami keberagaman dan keunikan setiap individu.  

Selain perubahan kurikulum, penggunaan teknologi dan inovasi pun menjadi bagian perubahan transformatif yang tidak dapat dihindari oleh para penyelenggara pendidikan. Pandemi Covid-19 adalah awal mula terjadinya perubahan signifikan dalam pembelajaran berbasis teknologi dan informasi ini. Berbagai inovasi dan kreatifitas pembelajaran mulai tumbuh dan berkembang dikalangan para pendidik, mereka dipaksa untuk beradaptasi dengan kondisi yang ada agar pembelajaran tetap berjalan dengan baik.

Penggunaan teknologi dalam pembelajaran telah memberikan kesempatan kepada murid untuk belajar lebih fleksibel, aksesibilitas lebih baik, serta penyampaian materi yang lebih menarik dan kontekstual. Dalam penelitian Fullan & Langworthy (2014), menunjukkan bahwa integrasi teknologi dapat memotivasi hasil belajar murid yang lebih baik, terutama ketika teknologi digunakan untuk memperkaya pengalaman belajar murid.

Untuk mensikapi berbagai perubahan yang ada, maka dibutuhkan sosok kepemimpinan transformasional agar perubahan yang terjadi dapat diterima secara positif oleh semua pihak. Scharmer (2024) mengatakan "Kita mengalami kegagalan dalam mengatasi tantangan zaman, dikarenakan kita buta terhadap dimensi kepemimpinan dan perubahan transformasional yang lebih dalam". (Modul CGP Jabar: 2024)

Kepala sekolah dengan kompetensi manajerialnya serta guru dengan kompetensi pedagogic dan profesionalnya, sangat perlu mengadopsi pola-pola kepemimpinan transformasional dalam mengelola institusi pendidikan dan atau dalam pengelolaan pembelajaran, turutama di era disrupsi 5.0 ini, dimana inovasi dan perubahan secara besar-besaran terjadi secara fundamental.

Pola kepemimpinan transformasional sebagaimana di tulis dalam situs kitatulus.com adalah gaya kepemimpinan yang memotivasi para bawahannya untuk berpartisipasi, berinovasi dalam mewujudkan tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi. Dalam konteks pendidikan, berarti kepala sekolah harus mampu memotivasi para guru, staf, siswa dan bahkan melibatkan orangtua siswa, untuk berkontribusi, berinovasi dan terlibat langsung dalam setiap kebijakan yang diambil oleh lembaga pendidikan.

Lalu pendekatan dan metode apa yang dapat dilakukan oleh para pemimpin lembaga pendidikan, bahkan oleh guru sebagai pemimpin pembelajaran di kelas, agar semua komponen pendidikan dapat termotivasi untuk berkontribusi dan berkolaborasi dalam mewujudkan visi dan tujuan pendidikan. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk membantu para pemimpin lembaga pendidikan, serta para guru sebagai pemimpin pembelajaran di kelas, adalah dengan menggunakan metode atau pendekatan BAGJA.

BAGJA merupakan sebuah akronomi dari Buat pertanyaan, Ambil Pelajaran, Gali Mimpi, Jabarkan Rencana, Atur Eksekusi. Istilah ini populer dikalangan peserta diklat calon guru penggerak, dalam modul 1.3 tentang visi guru penggerak, sebagai upaya untuk memudahkan pemahaman mereka dalam menyusun visi kepempimpinan transformasional dalam dunia pendidikan di Indonesia. Metode ini diadopsi dari pendekatan manajemen Inquiry Appreciative (IA), yaitu suatu konsep manajemen perubahan yang fokus pada kekuatan dan potensi positif individu untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Coperrider adalah salah satu tokoh yang mengembangkan inquiry appreciative (IA), dengan didasarkan pada prinsip-prinsip utama psikologi positif dan pendidikan positif. Konsep inilah yang mengilhami munculkan istilah pendekatan BAGJA pada manajemen perubahan yang dikembangkan kemendikbudristek pada era kepemimpinan Nadim Makarim.

Pemimpin dengan gaya transformasional dalam perspektif BAGJA, bertugas menyelaraskan kekuatan-kekuatan yang dimiliki organisasi, serta tidak menjadikan kelemahan suatu system, sebagai penghalang untuk mewujudkan tujuannya. Kepemimpinan transformasional dalam perspektif BAGJA, harus mulai dengan mengidentifikasi hal-hal baik yang sudah dilakukan serta merubahnya kearah yang lebih baik. Aset dan segala sumber daya yang ada dimaksimalkan pengunaanya, dalam rangka mencapai tujuan dan visi yang telah ditetapkan. Adapun langkah-langkah konkrit kepemimpinan transformasional dengan menggunakan pendekatan BAGJA adalah sebagai berikut:

Tahap pertama Buat Pertanyaan.  Tahap ini merupakan tahap awal dan penting bagi seorang pemimpin transformasional untuk mewujudkan visi perubahannya. Perubahan positif tidak akan bisa terwujud jika pertanyaan manager selalu diarahkan pada permasalahan yang terjadi, misalnya; "mengapa motivasi guru dalam menyelesaikan tugas-tugasnya menurun, apa masalahannya..?", "mengapa siswa tidak nyaman di kelas?" dan lain sebagainya. pertanyaan semacam ini lambat laun akan berdampak terhadap menurunnya motivasi dalam melakukan perubahan positif, terlebih jika solusi yang ditawarkan tidak sesuai dengan yang diharapkannya.  

sumber gambar: PIXABAY
sumber gambar: PIXABAY

Dalam perspektif BAGJA, pertanyaan yang diajukan harus besifat apresiatif terhadap kegiatan-kegiatan positif yang telah dilaksanakan, sehingga secara psikologis berdampak terhadap tumbuhnya motivasi dari para guru atau siswa, untuk melakukan perubahan positif secara sadar dan bertanggung jawab. Misalnya; "hal baik apa yang telah dilakukan guru untuk menyelesaikan tugas-tugasnya, kegiatan pembelajaran seperti apa yang bisa membuat nyaman siswa?". Tahap Buat Pertanyaan ini bisa dikatakan sebagai penentu arah bagi para pimpinan transformasional di lembaga pendidikan, untuk menentukan arah yang tepat bagi lembaganya, atau bagi para guru dalam melakukan manajemen kelas yang positif. Tahap pertama ini juga sebagai tahap awal para pemimpin lebaga untuk mengidentifikasi berbagai kekuatan dan keunggulan yang telah dimiliki.

Tahap kedua, Ambil Pelajaran, pada tahap ini seorang manager, pemimpin lembaga pendidikan, atau guru, berusaha menggali berbagai pengalaman positif, baik dari rekan kerja di lingkungan institusinya, maupun pengalaman-pengalaman dari institusi lain, dengan berlandasarkan pada pertanyaan-pertanyaan yang di buat pada tahap pertama. Pengalaman-pengalaman tersebut di rekam dan diambil untuk dijadikan sebagai pelajaran positif. Dalam Bahasa sederhananya, tahap Ambil Pelajaran ini diibaratkan seperti kegiatan study comparative atau studi tiru, tujuan utamanya adalah menggali pengalaman, serta mengambil pelajaran positif dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh orang lain dan telah dinyatakan berhasil, sehingga keberhasilan tersebut bisa ditiru dan dimodifikasi untuk diterapkan dilembaga pendidikan yang dipimpinnya.

Tahap ketiga Gali Mimpi, Setelah mengidentifikasi kekuatan dan potensi yang ada, mengumpulkan pengalaman-pengalaman positif, langkah berikutnya adalah menggali mimpi atau merumuskan visi yang ingin dicapai oleh lembaga pendidikan. Gali mimpi dalam perspektif BAGJA bukanlah menghayal, tetapi merumuskan harapan dan cita-cita secara bersama-sama. Pada tahap ini, seluruh pemangku kepentingan dilibatkan suara dan pilihan mereka diakomodir dan dipertimbangkan untuk dijadikan rumusan dalam penyusunan visi. Misalnya, apakah lembaga yang dipimpinnya ingin menjadi pusat inovasi dan kreativitas, menghasilkan lulusan yang kompeten dan berdaya saing global, atau menjadi pelopor dalam pengajaran berbasis Artificial intelligent ?. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam gali mimpi ini adalah aset dan kekuatan yang dimiliki, bukan masalah yang dihadapi.

Tahap keempat Jabarkan Rencana, yaitu merumuskan langkah-langkah menuju perubahan. Setelah visi dirumuskan, langkah-langkah konkret perlu dijabarkan secara sistematis. Strategi, metode, indikator keberhasilan di jabarkan yang jelas. Misalnya, jika visi lembaga adalah menjadi pusat inovasi dan kreatifitas, langkahnya dapat berupa pelatihan rutin bagi guru dalam penggunaan teknologi, melatih siswa untuk terampil dalam bidang-bidang tertent, pengembangan kurikulum berbasis teaching factory, atau penerapan sistem evaluasi modern yang transparan (Senge, 1990). Menurut Senge, rencana yang jelas adalah kunci untuk mencapai perubahan yang berkelanjutan.

Tahap kelima Atur eksekusi atau implementasi Tindakan. Transformasi hanya akan terwujud jika ada aksi nyata di lapangan, dengan komitmen penuh dari seluruh pihak. Pada tahap ini, peran kepala sekolah sebagai pemimpin transformasional sangat penting dalam mengarahkan dan memantau pelaksanaan langkah-langkah yang telah dirumuskan (Fullan, 2001). Seperti yang diungkapkan oleh Fullan, kepemimpinan yang efektif dapat menggerakkan seluruh komponen sekolah menuju perubahan yang diharapkan.  Dalam modul 1.3 Diklat Calon Guru Penggerak (2022) diuraikan bahwa dalam tahap Atur Eksekusi ini, seorang pemimpin transformasional dapat menentukan siapa yang berperan dalam pengambilan keputusan, menyelaraskan interaksi setiap orang yang terlibat agar dapat bersama-sama menciptakan (co-create) masa depan, mendesain jalur komunikasi dan pengelolaan rutinitas, seperti protocol/SOP, knowledge management, evaluasi dan refleksi.

Itulah lima langkah model pendekatan BAGJA yang dapat membantu mewujudkan kepemimpinan transformasional lembaga pendidikan dalam melakukan perubahan secara bertahap dan berkelanjutan. Dengan sikap optimis, serta focus pada kekuatan yang sudah ada, menggali potensi baru, dan menjalankan rencana yang jelas, lembaga pendidikan dapat menghadapi tantangan zaman dengan lebih siap dan inovatif. Pendekatan ini juga, menjadikan transformasi sebagai usaha kolektif dengan melibatkan semua komponen lembaga, sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai dengan cara kolaboratif(Cooperrider & Srivastva, 1987).

Model pendekatan BAGJA bukan hanya sekadar metode manajemen, ini adalah panduan yang bisa menjadi dasar dalam proses transformasi pendidikan yang positif dan berkelanjutan. Di tengah tantangan modernisasi dan digitalisasi, langkah ini menawarkan solusi praktis bagi lembaga pendidikan untuk terus beradaptasi, berinovasi, dan berkembang, sehingga mampu menghasilkan lulusan yang unggul dan siap berkontribusi di masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun