Pada tanggal 5 Oktober 20202 lalu, DPR resmi mengesahkan  Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Pengesahan ini tentu memancing penolakan dari berbagai elemen masyarakat, mogok kerja dan demonstrasi pun akhirnya muncul akibat dari pengesahan ruu ini.Â
Respon penolakan juga datang dari publik internasional, dikutip dari tirto.id, 35 investor global yang mewakili investasi (AUM) senilai 4,1 triliun dolar AS membuat surat terbuka kepada pemerintah Indonesia menyikapi soal Omnibus Law.Â
Surat itu juga menyoroti kerangka perizinan, pemantauan kepatuhan lingkungan, konsultasi publik, dan sistem sanksi yang diyakini akan berdampak parah terhadap lingkungan, hak asasi manusia dan ketenagakerjaan. Kekhawatiran inilah yang menjadi sumber ketidakpastian yang dihindari investor.
Seperti yang disinggung sebelumnya pengesahan ini menimbulkan adanya demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi tidak hanya diwakili kaum buruh sebagai pihak yang dirugikan, namun juga diikuti elemen masyarakat lain seperti mahasiswa, aktivis, pelajar dan lain sebagainya.Â
Demonstrasi berlangsung ricuh di berbagai daerah, terjadi bentrok antara masa dan aparat, bahkan sikap refresif aparat sempat ramai diperbincangkan warganet. Sedangkan di sisi lain banyak fasilitas publik yang hancur akibat bentrokan ini.Â
Pengesahan RUU Cipta Kerja yang dinilai terlalu tergesa-gesa, kemudian memancing demonstrasi besar-besaran yang kemudian menyebabkan bentrok antara masa dan aparat merupakan rangkuman dari kekacauan peristiwa dalam sepekan ini.
Analisis Teori Struktural Fungsional
Teori ini diawali dengan asumsi yang sederhana, asumsi yang menyatakan bahwa masyarakat ibarat organisme biologis, masing-masing memiliki fungsi serta pengaruhnya terhadap yang lain.Â
Dengan kata lain, suatu tatanan masyarakat akan stabil, harmonis, dan seimbang jika setiap elemen masyarakat menjalankan fungsinya. Berarti dalam konteks pergolakan yang terjadi akhir-akhir ini diawali oleh DPR Â yang dianggap tidak menjalankan fungsinya sebagai representasi rakyat.Â
Pengesahan yang tergesa-gesa dan tidak melibatkan banyak pihak dinilai sebagai bentuk penyelewengan fungsi DPR. RUU ini dianggap oleh sebagian besar masyarakat hanya mementingkan kelompok tertentu saja, tak hanya sampai disitu RUU yang sifatnya kompleks ini dianggap memiliki dampak yang buruk terhadap berbagai aspek kehidupan.Â
Pada titik ini, DPR gagal menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat yang harusnya membuat kebijakan berorientasi kepentingan rakyat, bukan sebagian kelompok saja.
Implikasi dari kegagalan DPR sebagai wakil rakyat, jika dilihat dari teori ini akan menimbulkan disharmoni tatanan masyakat. Faktanya memang demikian, akirnya masyarakat dengan terpaksa harus turun kejalan menyuarakan keresahannya. Demonstrasi ini juga akhirnya berimplikasi pada hal-hal yang lebih besar lagi, misalnya terjadi bentrok dengan aparat yang menimbulkan banyak korban, rusaknya fasilitas umum dan memungkinkan adanya cluster covid baru.
Kemarahan publik dalam demonstrasi yang berakhir pada bentrok dengan aparat dan rusaknya fasilitas publik, masih berkaitan dengan kegagalan DPR dalam menjalankan fungsinya. Apalagi jika kita mengacu pada survei yang dilakukan Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang dilakukan pada tanggal 4-5 Oktober 2019. Responden ini dipilih secara acak dari responden survei nasional LSI sebelumnya.Â
Hasil survei menunjukan kepercayaan publik kepada DPR paling rendah jika dibandingkan dengan kepercayaan publik pada KPK dan Pesiden Joko Widodo (Jokowi). Berdasarkan survei tersebut, instabilitas tatanan masyarakat yang terwujud dalam demonstrasi yang ricuh merupakan akumulasi kemarahan publik terhadap DPR.
Pada elemen lain, publik sempat dihebohkan dengan bocornya Surat Telegram Kapolri yang intinya memuat poin membuat kontra narasi terhadap mereka yang menolak RUU Cipta Kerja dan mencegah adanya demonstrasi. Ditambah masa aksi yang melakukan demonstrasi juga tak jarang mendapat tindak kekerasan dari aparat.Â
Lagi-lagi ditekankan bahwa aparat melenceng dari jalur idealnya mereka sebagai aparat yang mengayomi dan melindungi masyarakat. Dan pada akhirnya kita melihat kekacauan di berbagai daerah saat demonstrasi ini, akibat dari akumulasi kekesalan terhadap DPR dan menanggapi represifitas aparat.
Berangkat dari asumsi teori structural fungsional tadi, maka bukan hal yang mengherankan jika tatanan masyarakat mengalami ketidakseimbangan, disharmoni dan kacau. Karena beberapa elemen pemerintahan dan masyarakat tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Berawal dari DPR sebagai pembuat kebijakan, berdampak pada aspek lain dalam tatanan masyarakat, seperti jalan yang ditutup, sektor transportasi yang sempat berhenti, dan masalah covid. Pandemi ini membuat masyarakat sudah cukup sulit menghadapinya apalagi ditambah kebijakan yang tergesa-tergesa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI