Mohon tunggu...
Albert Wijaya
Albert Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Follow my Twitter : @daridebubintang

Follow my Twitter : @daridebubintang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Charles Darwin, Auschwitz, dan True Detective: Apakah Kita Lebih dari Sekadar Napas di Kandung Badan?

10 Agustus 2021   16:23 Diperbarui: 10 Agustus 2021   17:24 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terjadi setelah kita mati? Ini merupakan salah satu pertanyaan paling tua di dunia. Pertanyaan ini mungkin seumur dengan usia spesies kita yaitu sekitar 200.000 -- 300.000 tahun. Kematian dan apa yang terjadi setelahnya memang menjadi misteri hingga hari ini. Ribuan agama dan filosofi hadir untuk berusaha menjawab pertanyaan purba ini. Manusia menghabiskan banyak sekali waktu dan tenaga untuk berusaha menjawabnya : berdebat, melakukan penelitian, menulis buku, meditasi, dan berfilsafat.

Secara garis besar, kita terbagi di antara 2 jawaban : ada "sesuatu" setelah kematian dan tidak ada apa-apa setelah kematian. Kelompok pertama terpecah lagi menjadi banyak kelompok lainnya karena tidak sepakat akan apa "sesuatu" itu. 2 kepercayaan yang paling banyak adalah surga atau neraka dan reinkarnasi.

Berbicara soal konsep kehidupan setelah kematian, saya kira kita juga harus memikirkan bagaimana  proses evolusi membentuk spesies kita. Salah satu pembeda terbesar spesies kita dengan semua sentient being lainnya adalah kita mempunyai self-conscious atau kesadaran diri yang sepertinya paling tinggi.

Kita mungkin satu-satunya spesies yang mampu memproyeksikan masa lalu dan masa depan sebagai realitas yang sepadan dengan masa kini. Harga yang harus dibayar karna self-conscious yang tinggi adalah kecemasan. Coba perhatikan makhluk hidup lain, apakah ada binatang ataupun tumbuhan yang depresi karna terpenjara dalam kenangan masa lalu atau cemas karna membayangkan masa depan yang suram? Mereka hanya disibukkan oleh "saat ini".

Saya kira, secara intuisi (hasil dari campuran tak terpisah antara proses evolusi yang memberikan kita self-conscious yang tinggi dan pengaruh lingkungan/budaya), kita umumnya memang mempunyai tendensi untuk percaya bahwa memang ada "sesuatu" setelah kematian dibandingkan kehampaan total.

Charles Darwin, seorang naturalis asal Inggris yang menurut saya adalah satu ilmuwan terbesar yang pernah hidup, di awal perjalanan intelektualnya ternyata memiliki keyakinan yang serupa. Dalam otobiografinya, Darwin muda yang religius (22 tahun) di awal ekspedisi kapal Beagle, menuliskan keyakinannya ini:

"I was led by feelings ... to the firm conviction of the existence of God, and of the immortality of the soul... Whilst standing in the midst of the grandeur of a Brazilian forest, it is not possible to give an adequate idea of the higher feelings of wonder, admiration, and devotion which fill and elevate the mind. I well remember by conviction that there is more in man than the mere breath of his body."

Berdiri di tengah keakbaran hutan Amazon yang sepertinya tak berujung, Darwin muda tenggelam oleh keyakinan bahwa manusia lebih dari sekadar napas yang dikandung badan. Intuisinya mengatakan bahwa kita lebih dari sekadar napas, ada jiwa yang kekal dalam setiap insan manusia. Kita semua tahu, berbagai temuannya dalam ekspedisi dan faktor-faktor lainnya pada akhirnya membuat Darwin muda yang religius itu kehilangan imannya.

Saya pribadi tidak tahu apakah intuisi kuat yang kita dan Darwin (sempat) miliki bahwa ada "sesuatu" setelah kita mati adalah benar atau tidak. Intuisi kita umumnya mengatakan bahwa : kita lebih dari sekadar napas di badan ini, ada jiwa dalam setiap kita, eksistensi kita punya arti, semua yang terjadi dalam hidup kita ada alasannya, semua akan baik-baik saja dan indah pada ujungnya.

Namun meskipun, instuisi itu sangat kuat dan kita umumnya sangat menginginkan bahwa intuisi itu terbukti benar, ada sebuah tantangan berat terhadap intuisi tersebut. Tantangan tersebut adalah realitas bahwa hidup dan eksistensi ini absurd.

Rustin Cohle, karakter utama dalam True Detective Season 1 digambarkan sebagai seorang yang menganut filosofi pesimis. Ketimbang pesimis, ia lebih suka disebut sebagai seorang realis. Pandangannya terhadap hidup dan eksistensi begitu muram dan antitesis dengan intuisi kuat yang kita miliki akan kebermaknaan hidup dan adanya jiwa. Absurditas hidup dan eksistensi membentuk bagaimana Cohle memandang hidup ini.

Ketika sedang menyelidiki sebuah kasus pembunuhan berantai, Cohle menjajarkan di atas meja puluhan foto jasad korban yang dibantai secara sadis. Ketika memandangi wajah-wajah malang yang kini tak bernyawa itu, Cohle merenungkan keabsurdan hidup. Cohle yang melihat ujung tragis dari orang-orang malang tersebut berkata bahwa mereka semua punya 1 kesamaan.

Orang-orang malang itu : baik tua ataupun muda begitu yakin bahwa mereka adalah individu yang unik dengan tujuan dan makna. Menurut Cohle, mereka  sangat yakin bahwa mereka lebih dari sekadar boneka biologis, lebih dari sekadar napas yang dikandung badan. Sayangnya keyakinan tersebut luluh lantak ketika akhir hidup yang tragis menyergap tanpa ampun.

Di Twitter, saya mengikuti sebuah akun yang bernama @AuschwitzMuseum. Akun tersebut didedikasikan untuk mengenang korban Holocaust Nazi. Bagi yang tidak tahu, Holocaust di masa Perang Dunia ke-II adalah salah satu peristiwa genosida paling mengerikan dalam sejarah. Pemerintahan Nazi di bawah komando Adolf Hitler membantai kurang lebih 11.000.000 orang. Sebelas juta orang : laki-laki, perempuan, lansia, dewasa, dan anak-anak.  Mayoritas korban adalah orang Yahudi, Polandia, Serbia, Kroasia, Soviet, dan Gipsi.

Genosida tersebut dilakukan dengan cara mengirim orang-orang tersebut ke kamp-kamp konsentrasi. Di kamp-kamp tersebut, tahanan yang sehat diharuskan melakukan kerja paksa, sedangkan yang tidak sanggup bekerja diracun di dalam kamar gas. Salah satu kamp konsentrasi yang paling terkenal adalah Auschwitz.

Saat registrasi masuk kamp konsentrasi, semua tahanan didata dengan difoto dan diberi nomor tahanan. Di sana, para tahanan tidak lagi diidentifikasi sebagai individu dengan nama melainkan nomor tahanan. Bagi Nazi, mereka tidak lebih dari sekadar nomor-nomor yang tak ada artinya.

Setelah perang selesai, kamp-kamp tersebut diambil ahli sekutu. Ternyata foto-foto registrasi tahanan masih tersimpan. Akun @AuschwitzMuseum setiap hari memposting foto-foto hitam putih dari orang-orang malang tersebut lengkap dengan nama, pekerjaan, tanggal lahir dan tanggal mereka meninggal di kamp.

Setiap kali memandangi foto-foto tahanan tersebut, saya teringat akan kesimpulan yang ditarik oleh Rust Cohle. Para tahanan tersebut saya yakin adalah individu-individu yang sebelumnya yakin bahwa eksistensi dan hidup ini ada makna, bahwa kita lebih dari sekadar napas, bahwa pada akhirnya semua akan baik-baik saja. Sayangnya sekali lagi keabsurdan hidup dan pahitnya realitas lewat horor Holocaust meruntuhkan intuisi tersebut.

Jadi apakah kita lebih dari sekadar napas? Entahlah.........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun