Berbicara soal eksistensialisme memang tidak ada habisnya. Eksitensialisme merupakan salah satu cabang filsafat yang paling seksi untuk diperbincangkan, diperdebatkan, bahkan untuk dihidupi. Eksistensialisme lahir di sekitar abad 19.
Tokoh-tokoh besar yang bersumbangsih terhadap filsafat eksistensialisme antara lain Soren Kierkegaard, Jean Paul Sartre, Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, dan Albert Camus. Bahkan jika kita mau menelaah lebih jauh ke belakang, nafas eksistensialisme sebenarnya telah jauh ada sebelum Kierkegaard yang dijuluki bapak eksistensialisme lahir.
Nafas eksistensialisme telah ada bahkan sejak ratusan tahun sebelum masehi. Tidak percaya? Coba saja luangkan waktu untuk membaca Kitab Pengkhotbah di dalam Alkitab.Â
Banyak penafsir yang memperkirakan bahwa kitab ini ditulis oleh Raja Salomo. Kitab yang diperkirakan ditulis ratusan tahun sebelum masehi ini sangat sarat dengan pemikiran eksistensialisme yang kita kenal hari ini. Istilah-istilah yang muncul berulang kali yaitu "menjaring angin" dan kesia-siaan" adalah jeritan sang penulis terhadap keabsurdan hidup.
Lantas apa sebenarnya eksistensialisme itu? Bagi para mahasiswa filsafat ataupun penggemar sejarah pasti tidak asing dengan mantra utama eksistensialisme yaitu "existence precedes essence."
Artinya eksistensi mendahului esensi. Filsafat ini meyakini bahwa manusia terlahir sebagai insan yang bebas. Jika saya boleh menyimpulkan filsafat eksistensialisme dalam satu kalimat, maka kalimatnya adalah "Pilihlah makna hidupmu sendiri dan bangunlah monumen maknamu." Atau dalam bahasa Jean Paul Sartre adalah "Man is condemned to be free." Artinya setiap insan manusialah yang harus menentukan monumen makna hidup yang ingin dibangunnya.
Sampai sejauh ini mungkin ada beberapa pembaca yang menggerutu dalam hati bahwa apa kaitannya eksistensialisme dengan Elon Musk yang menjadi judul dari tulisan ini. Sebagian besar dari kita mungkin sudah tahu siapa sosok dari Elon Musk.Â
Elon Musk adalah sosok yang dijuluki oleh banyak orang sebagai Iron Man di dunia nyata. Elon Musk adalah pendiri dari Tesla dan Space X. Dua perusahaan ini adalah raksasa teknologi asal Amerika Serikat yang terdepan dalam soal inovasi dan ide-ide gila.
Tesla adalah perusahaan mobil listrik yang menjadi pionir dalam pengembangan kendaraan berbasis listrik. 10-20 tahun lalu ide untuk mengganti mobil bahan bakar minyak dengan energi listrik terdengar utopia dan asing. Namun hari ini, Elon Musk membawa Tesla menjadi inovator yang meyakinkan raksasa-raksasa otomotif lainnya bahwa masa depan kendaraan adalah dengan menggunakan energi listrik.
Selain itu, Elon Musk juga mendirikan Space X. Perusahaan ini adalah bergerak di bidang penjelajahan ruang angkasa dan planet. Mimpi gila dari Elon Musk di Space X adalah membangun koloni manusia di Planet Mars. Musk bermimpi ingin membawa manusia menjadi spesies multiplanet. Bukan Elon Musk namanya jika tidak sarat dengan imajinasi yang liar dan terdengar gila.
Di balik kesuksesannya ternyata Elon Musk menjalani masa kecil dan remaja yang tidak mudah. Di masa kecilnya dia pernah menjadi korban bully dari teman-teman sebayanya. Dalam suatu wawancara, Elon musk bercerita bahwa pada usia 13 tahun, ia telah lahap membaca tulisan dari Nietzsche dan Schopenhauer yang mengakibatkan dirinya mengalami krisis eksistensial. Usia mental Musk memang jauh lebih dewasa dibanding usia biologisnya.
Ada tulisan yang mengatakan bahwa semakin cepat atau muda kita mengalami krisis eksistensial, maka akan semakin baik. Karena krisis eksistensial adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hidup manusia sebagai makhluk yang haus akan makna. Dan Elon Musk sudah memikirkan isu ini di umur 13 tahun.
Mungkin krisis eksistensial inilah yang akhirnya membentuk Elon Musk menjadi seorang eksistensialis sampai hari ini. Mengapa penulis bisa dengan yakin bahwa Elon Musk adalah seorang eksistensialis sejati? Di dalam wawancara dengan Ted pada 2017 (bisa ditonton di Youtube), jawaban-jawaban Musk menunjukkan bahwa ia adalah seorang eksitensialis sejati.
Berikut adalah beberapa kutipan dari wawancara tersebut.
Anderson asked Musk: "Why Elon, why do we need to build a city on Mars with a million people in it, within your lifetime --- which I think is what you've said you'd love to do."
Elon Musk : "I just think there have to be reasons why you get up in the morning and you want to live," Musk said. "What's the point? What inspires you? What do you love about the future? If the future doesn't include being out there among the stars and being a multi-planet species, it's incredibly depressing."
Anderson hypothesized that part of his keen interest in colonizing Mars comes from Musk's need to inspire humanity while he tries to save it. Musk's answer was a little more plain.
Elon Musk : "I think the value of beauty and inspiration is very much underrated, no question," Musk said. "But I want to be clear, I'm not trying to be anyone's savior. I'm just trying to think about the future and not be sad."
Bagi Elon Musk monumen makna yang ia pilih untuk bangun adalah mengkolonisasi mars, keluar untuk menjelajah di antara bintang-bintang dan menjadikan manusia sebagai spesies multiplanet. Bagi Elon Musk setiap kita perlu untuk menetapkan/menemukan hal yang menjadi alasan bagi kita untuk bangun setiap paginya di tengah-tengah dunia yang terasa absurd.
Mungkin monumen makna yang dipilih untuk dibangun Elon Musk terdengar utopis dan gila? Silakan berpendapat apapun, tapi yang jelas Elon Musk sedang menunjukkan bagaimana menjadi seorang eksistensialis yang sejati dan tidak tanggung-tanggung.
Itu sedikit kisah dari Iron Man di dunia nyata yang sedang membangun monumen maknanya. Kini giliranmu untuk menentukan dan membangun monumen maknamu sendiri.
Selamat Membangun!
Albert Wijaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H