Komunikasi adalah sebuah kata sederhana yang hampir setiap hari kita dengar dan kita lakukan. Secara sederhana komunikasi adalah kegiatan menyampaikan pesan dari sender (pengirim) kepada receiver (penerima) melalui media atau channel tertentu. Meskipun sederhana dan setiap hari kita praktikkan, berkomunikasi dengan baik bukanlah suatu hal yang mudah.
Kita sebagai pengirim pesan harus memikirkan dengan matang cara dan media yang digunakan agar pesan kita dapat sampai ke penerima pesan sesuai dengan kita maksudkan dan kehendaki. Dalam tulisan ini, saya akan melanjutkan analisa saya terhadap pemerintahan Jokowi selama lebih dari 3,5 tahun ini.
Kali ini sesuai dengan judul, saya akan membahas bagaimana komunikasi yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Kebijakan yang baik dan pro rakyat pun jika tidak dikomunikasikan dengan baik akan menimbulkan masalah.
Secara keseluruhan, saya menilai komunikasi politik yang dilakukan pemerintahan Jokowi (khususnya para menteri dan jajarannya) buruk. Jika Anda adalah seorang yang rutin membaca/menonton berita setiap hari, saya yakin Anda pasti pernah membaca atau mendengar pernyataan-pernyataan para menteri Jokowi yang kontoversial sehingga menghiasi headline utama pemberitaan media massa.
Misalnya pernyataan dari Menteri Kesehatan Nila Moeloek bahwa cacing mengandung protein dalam menyikapi kasus sarden bercacing. Atau pernyataan dari Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang menghimbau rakyat untuk menawar harga beraskarena harga di pasaran sedang mahal. Belum lagi pernyataan menghebohkan dari Menko PMK Puan Maharani yang meminta rakyat untuk diet dan jangan makan banyak-banyak ketika menyikapi tentang alokasi raskin (beras miskin).
Pernyataan-pernyataan semacam itu menunjukkan buruknya komunikasi dari jajaran pemerintahan Jokowi dan dibutuhkan perbaikan. Statement-statement tidak perlu semacam itu menjadi gorengan politik yang sangat menggiurkan bagi oposisi. Harus diakui cara dan gaya komunikasi politik dari oposisi pemerintah yang dimotori oleh Fadli Zon dan Fahri Hamzah sangat baik. Blunder komunikasi sekecil apapun bisa menjadi headline utama di media berkat kemampuan mereka menggoreng kelemahan komunikasi pemerintah.
Dalam analisa saya, pemerintah selama ini lebih banyak menerapkan strategi bertahan dalam komunikasi politiknya. Seharusnya pemerintah lebih aktif mengkomunikasikan pencapaian dan program pemerintah dengan strategi yang lebih agresif. Kalau tidak, semua hal-hal baik dan program-program pemerintah yang pro rakyat justru dianggap buruk dan tidak berpihak pada rakyat.
Contoh paling nyata adalah kasus serbuan tenaga kerja asing di kawasan industri di Morowali. Oposisi begitu gembar gembor menyatakan bahwa pemerintah tidak berpihak kepada pekerja lokal karena banyaknya pekerja asing di Morowali. Banyak pihak marah kepada pemerintah karena menggangap isu ini benar. Padahal fakta yang sebenarnya tidak demikian. Dalam kunjungan kerja DPR yang diketuai oleh Dede Yusuf (Politisi Demokrat yang notabene bukan pendukung pemerintah), menemukan fakta bahwa isu serbuan tenaga kerja asing di Morowali tidak benar. Justru pekerja lokal yang sangat diuntungkan oleh pemerintah. Namun nasi terlanjur menjadi bubur, sudah terlalu banyak rakyat yang percaya akan isu yang sesat ini.
Menjelang pemilihan presiden tahun depan, komunikasi adalah titik lemah yang harus segera dibenahi oleh pemerintah. Pencapaian dan keberpihakan kepada rakyat saja tidak cukup. Keberhasilan dan pencapaian tersebut harus dikomunikasikan dengan baik kepada rakyat.
Saya pikir Jokowi sadar betul akan titik lemahnya ini sehingga dia mengangkat seorang Ali Mochtar Ngabalin yang cenderung agresif dan jauh dari kata kalem dalam berkomunikasi dan menjadi penyambung lidah pemerintah kepada rakyat.
sumber gambar : tempo.co
Oleh : Albert Wijaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H