Diplomasi Publik dan Krisis: Pendekatan Konseptual
Secara teori, diplomasi publik merupakan proses komunikasi antara pemerintah dan publik asing dalam upaya mewujudkan pemahaman atas ide, nilai, norma, budaya, hingga tujuan dan kebijakan nasional yang dimiliki negaranya. Artinya, dalam diplomasi publik, komunikasi tidak terbatas pada pemimpin atau perwakilan resmi negara, tetapi ikut melibatkan publik. Dalam kondisi ‘normal’, aktivitas diplomasi publik dilakukan untuk menciptakan opini dan citra positif dari publik asing sehingga mempermudah pencapaian kebijakan luar negeri negara.
Diplomasi publik seringkali dinilai sebagai upaya yang dilakukan negara untuk mendukung first- track diplomacy yang dilakukan. Alasannya, upaya pemerintah saja ternyata belum cukup untuk menjawab berbagai tantangan yang semakin kompleks, terutama jika pendekatan dilakukan dengan cara yang formal/kaku. Oleh sebab itu, pemerintah pun perlu mengadakan aktivitas diplomasi publik agar diplomasi dapat berjalan dengan lebih lancar, terutama disebabkan oleh adanya dukungan dari masyarakat internasional.
Selain dalam kondisi ‘normal’, diplomasi publik ternyata dapat dimanfaatkan dalam kondisi krisis. Menurut Boin dan Hart, krisis merupakan sebuah kondisi dimana sekelompok orang, baik organisasi, kota, ataupun negara, merasakan ancaman mendesak terhadap nilai-nilai (core value) dan harus segera ditangani dalam kondisi yang tidak pasti. Pada definisi tersebut, Boin dan Hart menekankan pada adanya aksi yang segera dilakukan sebagai bentuk tanggapan aktor-aktor yang terlibat. Dalam first-track diplomacy, tanggapan terhadap krisis yang terjadi dapat berupa pertemuan-pertemuan antarnegara, baik bilateral maupun multilateral, yang nantinya akan menghasilkan solusi, baik berupa kesepakatan, perjanjian, ataupun pedoman aksi-aksi yang dapat dilakukan oleh aktor terkait.
Jika melihat bentuk aktivitasnya, diplomasi publik belum tentu dapat menghasilkan solusi dan aksi yang sama dengan first-track diplomacy. Tetapi, diplomasi publik tetap dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam kondisi krisis. Menurut Claudia Auer, diplomasi publik merupakan instrumen manajemen krisis yang dapat digunakan untuk mencegah dan meringankan krisis yang sedang berlangsung. Diplomasi publik dapat dimanfaatkan untuk:Â
a) mempromosikan nilai-nilai yang dapat meningkatkan stabilitas negara
b) menciptakan saling pengertian dan memperbaiki kesalahpahamanÂ
c) membangun reputasiÂ
Diplomasi publik dinilai memiliki manfaat yang sama dengan first-track diplomacy, bahkan memiliki kelebihan dalam menjangkau aktor-aktor non-negara, termasuk masyarakat. Selain itu, Eva-Karin Olsson berpendapat bahwa diplomasi publik pun dapat digunakan sebagai instrumen untuk :Â
a) make sense of event (memahami krisis yang sedang terjadi dan kemungkinan resiko)Â
b) networking (membentuk jaringan komunikasi antara aktor negara dan/atau non-negara)
c) craft message and communicate (menentukan bentuk dan cara penyampaian pesan dengan mempertimbangkan perbedaan antaraktor).
Artinya, diplomasi publik dapat ikut mempengaruhi proses komunikasi antara aktor-aktor yang terlibat dalam krisis, baik sebelum ataupun ketika krisis berlangsung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H