Mohon tunggu...
Albertus Aryo
Albertus Aryo Mohon Tunggu... Automation Engineer -

Ad Maiorem Dei Gloriam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Budaya Melanggar

3 September 2015   14:49 Diperbarui: 3 September 2015   14:49 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya adalah suatu sara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan cipta msyarakat. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudi dan berbudaya, berupa perilaku, pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, dan organisasi sosial yang bertujuan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermsyarakat.

Begitu indah dan mulia definisi dari budaya tersebut. Namun belakangan saya mengamati dalam masyarakat berkembang suatu budaya yang cenderung negatif, yaitu budaya melanggar. Budaya ini kian lumrah dan jamak dilakukan oleh kebanyakan masyarkat Indonesia. Suatu aturan dibuat bukan untuk dilaksanakan sebagaimana semestinya aturan itu dibuat, namun hanya dijadikan pantas-pantas saja dan dalam pelaksanaannya banyak dilakukan improvisasi oleh pelaksana aturan tersebut. Aturan disini bisa berupa aturan tertulis maupun aturan tidak tertulis.

Contoh yang paling hangat dibicarakan adalah kasus pengendara sepeda yang menghadang konvoi sekelompok pengendara moge yang karena ukuran motornya yang besar merasa berhak untuk didahulukan dan berhak untuk melanggar rambu-rambu lalu lintas seperti lampu lalu lintas. Dalam hal ini jelas bahwa rambu-rambu lalu lintas adalah salahs atu bentuk aturan yang digunakan untuk mengatur pergerakan kendaraan lalu-lintas agar semua pengguna jalan aman dan selamat dalam berkendara. Meskipun tetap ada pengecualian untuk keadaan-keadaan tertentu yang mengharuskan pengguna jalan tertentu diprioritaskan karena urgensinya, misal mobil ambulance, mobil pemadan kebakaran, mobil pejabat negara yang sedang melakukan perjalanan dinas. Dan dari beberapa literatur dan sumber yang saya baca tidak menyebutkan bahwa konvoi moge adalah salah satu pengecualian dalam aturan berlalu-lintas. Namun karena satu dua hal, para pengendara moge menjadi berhak untuk mendapat pengecualian untuk tidak perlu mematuhi rambu-rambu lalu lintas.

Pertanyaannya apakah lantas semua pengendara moge seperti itu? Tentu saja tidak. Besar kecilnya kendaraan ternyata tidak bisa dijadikan patokan bahwa kalau kendaraannya lebih besar lantas orang tersebut berhak untuk diistimewakan dalam berkendara. Fenomena yang saya lihat adalah arogansi seperti itu tidak hanya dimiliki oleh  pengendara moge saja. Arogansi semacam itu bisa kita jumpai pada semua pengendara roda dua apapun kendaraannya, entah moge, motor bebek, motor, matic, atau motor sport. Justru pengendara roda 2 non-moge tersebut yang lebih banyak melakukan pelanggaran aturan dalam berlalu lintas. 

Setiap jam sibuk masuk kerja dan pulang kerja bisa kita jumpai beragam pelanggaran aturan yang dilakukan pengendara roda dua. Pengalaman saya pribadi, saya pernah hampir menabrak pengendara roda dua yang melawan arus dengan kecepatan tinggi dia mengambil arah arus yang berlawanan padahal sudah ada taman pembatas jalan. Perilaku itu juga diikuti oleh beberapa pengendara roda dua yang lainnya. Dengan gagahnya dia menyalakan lampu jauh dan membunyikan klakson keras-keras untuk menyuruh kendaraan saya minggir untuk memberi dia jalan. Lucu memang, pihak yang salah atau pelanggar aturan lebih galak daripada yang berjalan sesuai dengan ketentuan. 

Baru-baru ini juga saya membaca dari sejumlah artikel mengenai sebuah gerakan yang bertajuk "Save our trotoar". Gerakan itu, seperti namanya adalah bentuk protes para pejalan kaki yang haknya diperkosa oleh para pengendara roda dua. Gerakan ini menuntut trotoar  sebagai tempat untuk berjalan kaki dikembalikan lagi fungsinya lagi sebagai tempat untuk berjalan kaki, bukan tempat pengendara roda dua melintas karena jalan macet sehingga merasa berhak untuk menyerobot hak pejalan kaki, yang besar selalu menindas yang kecil.

Lantas apa yang salah dengan aturan itu? Apa kolerasinya dengan budaya melanggar yang disampaikan diawal tadi? Setiap manusia dibekali dengan akal budi, yang membedakan dirinya dengan makhluk ciptaan yang lain. Akal budi adalah bekal manusia dalam melangsungkan hidupnya sebagai individu dalam satu kelompok sosial. Dengan akal budi manusia bisa membedakan yang baik dengan yang buruk, serta yang benar dengan yang salah. Akal budi berperan dalam menjustifikasi apakah suatu hal itu baik/buruk dan benar/salah. Akal budi juga yang membuat manusia mampu membuat suatu tatanan sosial yang berbudaya dan bermoral. Akal budi menuntun manusia sebagai individu untuk mentaati aturan-aturan, norma, dan etika untuk menjaga tatanan sosial dalam masyarakat. Dalam ilmu psikologi peran ini lebih dikenal dengan superego. 

Namun tidak lupa juga dalam diri manusia terdapat nafsu/insting yang juga terdapat pada hewan. Nafus dan insting diperlukan dalam mempertahankan kelestarian suatu spesies. Nafus juga yang mendorong manusia untuk melestarikan ketruanannya dan berkembang. Nafsu juga yang berperan dalam kerinduan manusia untuk memperoleh kemakmuran. Namun nafsu merupakan impuls yang mendorong pemenuhan kebutuhan individu sebagai yang utama diatas individu lain bahkan tatanan sosial manusia. Nafus ini juga yang mebuat individu merasa memiliki hak yang lebih daripada individu lain. Olehnya manusia dibekali akal budi untuk membatasi nafsu tersebut seupaya tidak kelewat batas.

Menurut hemat saya para pelanggar aturan diatas entah dengan sadar atau tidak telah mendisfungsikan akal budinya untuk memenuhi nafus pribadinya. Perilaku seperti ini yang lantas diamini dan ditiru oleh banyak orang sebagai simbol kesuksesan, yaitu ketika seorang individu merasa lebih dari individu lain dalam tatanan sosial yang kebyakan diperoleh dari materi. Perilaku menyimpang ini telah ditiru dan dilakukan oleh sebagian besar individu dalam suatu tatanan sosial sehingga sudah menjadi hal yang lumrah dan merupakan kebiasaan yang lambat laun orang-orang tidak lagi menganggap perilaku menyimpang itu menyimpang karena telah jamak dilakukan dalam masyarakat. Justru individu dengan perilaku yang tidak menyimpang menjadi seolah-olah menyimpang karena perilaku yang menyimpang sudah dianggap lumrah dan wajar. 

Perilaku menyimpang yang sudah dimaklumi dan dianggap wajar inilah yang menjadi cikal bakal budaya melanggar dalam masyarakat. Seperti definisi diatas dimana dikatakan budaya adalah sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi, marilah mulai dari diri kita dan lingkungan terdekat kita untuk memperbaiki perilaku menyimpang melanggar aturan. Dengan berperilaku sesuai aturan kita sudah memberi contoh paling tidak kepada anak-anak kita, sehingga kita tidak mewariskan budaya melanggar aturan kepada generasi penerus kita, anak-anak kita. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun