Kalaupun konteks ini kita kembalikan ke Mesir dan Tunisia, nyatanya demonstran yang turun ke jalan terutama berasal dari konsistensi para aktivis tradisional yang sebetulnya sudah lama mengorganisasi diri dan menghimpun kekuatan. Yang paling sering diberitakan contohnya, kekuatan oposisi atau persaudaraan muslim (Ikhwanul Muslimin) di Mesir. Ikhwanul Muslimin, kita tahu, sudah berdiri di Mesir sejak 1928 dengan tokoh Hassan al-Banna dan sejak itu konsisten menjalankan aktivitas hingga kini.
Dengan kata lain, jejaring sosial sebenarnya tidak digunakan untuk mengorganisir massa dari nol tetapi lebih kepada menyebarluaskan atau mempublikasikan apa yang terjadi di lapangan karena hal itu tak lagi bisa dilakukan media mainstream. Harapannya, sekali lagi, menggalang simpati dan syukur-syukur aksi nyata orang lain untuk turun ke jalan bergabung dengan inti dari gerakan itu, yakni aktivis tradisional. Fungsi minimalis ini tak terlalu istimewa, kalau konteksnya kita kembalikan ke negara-negara yang menjamin kemerdekaan pers semacam Indonesia, apalagi Amerika. Revolusi Facebook? Revolusi Twitter?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H