Revisi UU KPK terus diteriakkan oleh para anggota legislator yang dipimpin oleh fraksi PDIP meskipun mereka tahu bahwa tindakan ini tidak populer di kalangan masyarakat. Revisi UU KPK menyebutkan bahwa “umur” dari lembaga pemberantas korupsi ini hanya berumur 12 tahun setelah UU ini disahkan mendapat tentangan oleh hampir seluruh elemen masyarakat, yang tentu saja tidak memiliki kepentingan dan skenario politik di balik revisi UU ini.
Fungsi dari pembatasan “umur” KPK ini menurut Arteria Dahlan, legislator dari fraksi PDIP, yaitu agar lembaga penegak hukum lain yaitu kepolisian dan kejaksaan dapat diperkuat, khususnya dalam memberantas korupsi. Menurut saya alasan ini jelas tidak relevan dan logis bagi seorang legislator. Perlu diketahui bahwa KPK ini terbentuk pada tahun 2002/2003 untuk memberantas para koruptor yang memperkaya diri dengan merugikan negara. Mengapa lembaga ini dibentuk? Singkat kata karena pada saat itu integritas lembaga penegak hukum lain diragukan untuk menangkap para koruptor. Sehingga diperlukan sebuah lembaga independen yang bebas dari intervensi mana pun untuk memberantas korupsi, maka lahirlah KPK yang dikenal sekarang ini.
Namun setelah 13 tahun KPK bertugas, bagaimana integritas dan kepercayaan publik terhadap Polri dalam mengusut kasus korupsi? Berkaca dari kisruh KPK – Polri pada awal tahun tentang penetapan tersangka terhadap calon Kapolri pada waktu itu, jelas mengindikasikan bahwa di dalam internal Polri sendiri patut diduga marak terjadi praktik korupsi. Kondisi ini menuntun saya pada pertanyaan selanjutnya yaitu bagaimana sebuah lembaga yang mendapat tugas berat untuk memberantas korupsi namun internalnya sendiri patut diduga marak terjadi praktik korupsi? Tentu tugas pemberantasan korupsi yang akan bertumpu pada Polri dihadapkan dengan berbagai kepentingan-kepentingan internalnya sendiri sehingga dapat dikatakan tugas berat ini akan “mandul” di tangan Polri.
Belum lagi soal tingkat kepercayaan masyarakat. Menurut survei lembaga kajian non profit Populi Center, Polri berada di urutan ke-2 dalam lembaga negara terkorup. Kontras dengan KPK di mana lebih dari separuh (60%) responden mengaku puas dengan kinerja KPK, hanya 2% responden yang kecewa dengan lembaga independen tersebut. Hal ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa masyarakat lebih mempercayai KPK untuk memberantas korupsi daripada Polri.
Dari sepak terjang KPK selama 13 tahun, dapat dilihat bahwa masyarakat begitu mengapresiasi kinerja KPK, berbalik dengan Polri yang masyarakat sendiri menilai bahwa praktik korupsi masih marak terjadi di internal Polri. Dukungan masyarakat mengalir begitu deras saat kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dilakukan oleh Polri. Kita dapat mengingat konfrontasi Cicak versus Buaya begitu banyaknya elemen masyarakat yang bergabung untuk menyampaikan rasa solidaritasnya terhadap para pimpinan KPK.
Kejaksaan pun masih sama prematurnya dengan Polri untuk mengemban tugas berat memberantas korupsi yang sudah begitu mengakar. Masih segar dalam ingatan saya kasus suap Jaksa Urip dalam kasus aliran dana BLBI. Jaksa Urip bahkan sempat disebut-sebut sebagai jaksa terbaik tanah air dan menjadi bagian dari 35 jaksa terbaik daerah yang diberi tugas untuk menyelidiki kasus BLBI. Buntut dari kasus Jaksa Urip ini juga menyeret beberapa pejabat dari kantor Kejaksaan Agung.
Entah apa alasan bagi para anggota legislator, khususnya para anggota DPR dari fraksi PDIP yang menggawangi, untuk membatasi “umur” KPK ini. Dari uraian di atas, saya tidak melihat adanya urgensi dan relevansi yang mendesak. Terlebih maraknya kasus korupsi di tubuh lembaga penegak hukum sendiri. Sepak terjang selama 13 tahun membuktikan bahwa lembaga penegak hukum (Polri dan Kejaksaan) pun belum bebas dari praktik korupsi. Hingga kita semua patut bertanya ada apa dibalik agenda si banteng merah? (ALT)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H