Melihat Indonesia menjadi negara yang berdaulat dibidang pangan, merupakan keinginan semua masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Kita sudah pernah merasakan swasembada pangan dan kita ingin kembali berjaya seperti jaman itu. Kita tentu akrab dengan meme Presiden Soeharto yang berkata "Piye kabare, enak jamanku to?" Sayangnya kedaulatan itu tidak berlangsung lama. Karena jika kita berbicara tentang kedaulatan pangan maka sudah tentu harus berkelanjutan. Karena kalau tidak ya percuma saja. Untuk mencapai kedaulatan itu kembali di zaman yang sekarang, Indonesia -- bahkan dunia -- harus menghadapi beberapa tantangan yang tidak mudah dan jauh berbeda. Indonesia harus berhadapan dengan pertambahan jumlah penduduk, sumber daya alam yang mulai habis (tanah & air), dan perubahan iklim yang tidak menentu.
Data dari FAO (The Food and Agriculture Organization of the United Nations) menunjukkan bahwa ditahun 2050, dunia harus meningkatkan produksi pangannya hingga 70% untuk memberi makan 10 miliar orang. Untuk kasus di Indonesia sendiri, dengan peningkatan jumlah penduduk rata-rata 1.2%, rata-rata konsumsi pangan meningkat 11% selama lima tahun terakhir (menurut data BPS dan Kementerian Pertanian). Masalah yang kedua adalah sumber tanah dan air kita mulai terdegradasi dan habis. Data menunjukkan bahwa 25% tanah pertanian sudah sangat terdegradasi dan 44% terdegradasi pada level sedang. Hal ini terbukti karena hampir sebagian besar lahan pertanian kita, jika tidak menggunakan pupuk kimia sudah tidak bisa lagi menumbuhkan tanaman secara subur karena unsur haranya tidak ada lagi. Selain itu, kita telah mendeforestasi hutan kita untuk dikonversi menjadi lahan pertanian yang secara tidak langsung membuat sumber air semakin langka. Empat puluh persen penduduk di desa (para yang mayoritas petani) hidup di daerah yang langka air. Hal ini diperparah dengan adanya perubahan iklim yang membuat hujan menjadi tidak menentu. Sekarang hujan cenderung jarang, namun deras. Di satu saat terjadi kekeringan, di saat yang lain banjir. Panas yang berlebih juga telah terbukti membuat tanaman tidak bisa tumbuh subur. Semua masalah ini tentu tidak bisa diselesaikan dengan mudah. Tidak ada satu cara yang bisa menyelesaikan semuanya. Diperlukan berbagai macam alternatif solusi untuk bisa mulai memperbaiki sistem produksi pangan kita di Indonesia agar terus sustainable.
Dengan mesin pertanian, contohnya mesin traktor untuk menaman padi dan mesin traktor untuk memanen padi, biaya dan waktu kerja bisa dipangkas dan hasilnya pun lebih banyak.Â
Disisi lain, dengan mesin pertanian yang modern, anak-anak generasi milenial akan lebih tertarik untuk menjadi seorang petani. Selain itu persiapan infrastruktur pertanian seperti waduk dan jaringan irigasi diperlukan untuk menunjang produktivitas lahan.Â
Dengan waduk dan jaringan irigasi yang baik, lahan yang biasanya dalam satu tahun hanya bisa ditanami satu kali bisa ditanami dua kali yang artinya hasil panen menjadi dua kali lipat. Petani pun menjadi dua kali lipat lebih sejahtera.
Untuk masalah pupuk, diperlukan pupuk organik yang mampu mengembalikan unsur hara pada tanah secara berkelanjutan dan tidak merusak tanah. Pupuk cair organik dari proses fermentasi harus mulai digalakkan dibarengi dengan pergantian tanaman yang ditanam pada tanah tersebut agar tanah segar kembali.
Agriculture 4.0
Kita tahu bahwa negara maju sudah mengembangkan berbagai macam inovasi-inovasi baru dalam bidang pertanian. Dan kita harus mengakui bahwa kita harus belajar dari mereka agar kita tidak tertinggal. Tentu inovasi teknologi dari negara lain tidak serta merta cocok untuk diaplikasikan di Indonesia. Namun dengan mempelajari perkembangan teknologi yang ada, kita pun juga bisa membuat inovasi kita sendiri untuk pertanian di Indonesia.
Di negara maju pertanian yang masih menggunakan lahan, selain sudah diperlengkapi dengan alat dan mesin pertanian yang sudah sangat canggih, mereka juga sudah mengembangkan sistem precision agriculture. Cara kerjanya adalah dengan mengumpulkan data tentang lahan mereka mulai dari suhu, kelembapan, kualitas tanah, cuaca dengan menggunakan Internet of things (IoT) dan digabungkan dengan image processing dari pengamatan drone untuk mempelajari karakteristik setiap zona lahan. Dari data tersebut petani bisa tahu perlakuan apa yang harus dilakukan untuk setiap zona pada lahannya.Â
Zona mana yang perlu disiram, zona mana yang perlu diberi pupuk, seberapa banyak kadar pupuk yang harus diberikan, apakah ada tanda-tanda terkena hama sehingga harus di beri pestisida, dan sebagainya bisa dilakukan dengan mudah dengan data yang ada. Bahkan mereka bisa menggunakan drone untuk menyiram/memupuk/memberikan pestisida secara otomatis pada zona yang membutuhkan. Sehingga, dengan pertanian berbasis data atau precision agriculture selain hasil lebih maksimal, biaya menjadi lebih murah.
Hal ini memungkinkan karena tanaman bisa ditumpuk dalam sebuah rak dari bawah ke atas. Selain sangat menghemat ruang, sistem ini menggunakan hidroponik (menggunakan media air) atau aeroponik (menggunakan media udara yang di semprot uap air) sehingga menghemat air hingga 95 persen dan juga menghemat pupuk/nutrisi dan tanpa menggunakan pestisida. Selain itu dengan sistem budidaya yang ada di perkotaan, maka biaya distribusi sayuran bisa dipotong dan konsumen akan mendapatkan sayuran yang masih segar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI