Aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) pada 1 Desember bukanlah sekadar demonstrasi rutinitas, melainkan semacam pengadilan moral terhadap gagalnya konstruksi pembangunan di tanah Papua. Mereka datang dengan bukti empiris, bukan sekadar keluh kesah, untuk mengungkap kompleksitas permasalahan yang selama ini diselubungi retorika pembangunan palsu.
Bidang kemasyarakatan PMKRI Cabang Pematangsiantar mensoroti 3 hal kritis yang menohok, Pertama, soal pembukaan lahan yang sistematis dan destruktif. Praktik perampasan lahan adat oleh korporasi dan kepentingan modal telah mengubah lanskap sosial-ekologis Papua menjadi medan pertarungan antara kapitalisme global dan hak-hak fundamental masyarakat adat.
Perusahaan-perusahaan besar kerap menggunakan instrumen hukum dan koneksi politik untuk menghapus eksistensi masyarakat adat. Mereka tidak sekadar membuka lahan, tetapi melakukan dekonstruksi total terhadap sistem sosial, budaya, dan ekologi yang telah berabad-abad dipertahankan oleh masyarakat Papua. Izin-izin yang diberikan oleh pemerintah pusat kerap tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan kelestarian lingkungan.
Kedua, persoalan pendidikan yang jauh dari standar keadilan. Sistem pendidikan di Papua tidak lebih dari sekadar instrumen marginalisasi sistematis. Rendahnya kualitas pendidikan bukan kebetulan, melainkan produk dari kebijakan diskriminatif yang secara sengaja membatasi ruang gerak intelektualitas masyarakat Papua.
Data menunjukkan kesenjangan pendidikan yang sangat signifikan. Angka putus sekolah, rendahnya kualifikasi guru, minimnya infrastruktur pendidikan, dan kurikulum yang tidak sensitif terhadap konteks lokal menjadi bukti konkret bahwa pendidikan di Papua adalah reproduksi structural violence yang dilakukan negara.
Indikator ketiga yang tak kalah krusial adalah problem ekonomi, terkhusus dengan kebutuhan hidup yang mahal. Papua mengalami paradoks ekonomi yang mengerikan: kaya akan sumber daya alam, namun penduduknya terjepit dalam kemiskinan struktural. Harga kebutuhan pokok yang sangat tinggi bukan sekadar persoalan mekanisme pasar, melainkan cerminan dari ketidakadilan distribusi dan eksploitasi sistematis.
Pusat kekuasaan ini tidak bisa lagi dijadikan komoditas retorika belaka. Kepada Presiden Prabowo Subianto, kami tidak sekadar memohon, tetapi menuntut pertanggungjawaban konkret. Papua bukan wilayah eksotis untuk dijadikan komoditas foto dokumentasi pembangunan, melainkan ruang hidup yang membutuhkan rekonstruksi fundamental.
Kami mendesak pemerintah untuk:
1. Membongkar model perizinan lahan yang diskriminatif
2. Melakukan audit komprehensif terhadap praktik korporasi di Papua
3. Merombak total sistem pendidikan dengan pendekatan berbasis hak dan konteks lokal
4. Membuat regulasi yang membatasi spekulasi ekonomi di Papua
5. Mengembalikan kedaulatan masyarakt adat atas wilayahnya
Papua membutuhkan lebih dari sekadar pembangunan infrastruktur. Yang dibutuhkan adalah rekonstruksi total paradigma pembangunan yang menempatkan martabat kemanusiaan sebagai titik sentral. Setiap kebijakan harus diukur dari perspektif keadilan, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi.
Aksi mahasiswa ini adalah bentuk resistensi intelektual melawan sistem yang telah lama mendekonstruksi peradaban Papua. Mereka adalah generasi yang tidak lagi bersedia dipinggirkan, dijadikan objek, atau disusupi narasi pembangunan yang membelenggu.
Presiden Prabowo, saatnya membuktikan bahwa komitmen kebangsaan tidak sekadar retorika, tetapi aksi nyata yang merangkul segenap kemajemukan dengan penuh martabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H