Ada satu kata yang mungkin mewakili harapan, intelektualitas, dan tanggung jawab: mahasiswa. Tak bisa dipungkiri, mahasiswa memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah Indonesia.
 Kita semua ingat saat mahasiswa menjadi pahlawan dalam pergerakan reformasi 1998, berani menentang rezim Orde Baru dengan idealisme mereka. Mereka turun ke jalan bukan untuk mencari fame atau uang, tetapi untuk mengadvokasi keadilan dan demokrasi.Â
Tapi jika kita lihat keadaan saat ini, kita tak bisa menutup mata bahwa ada perubahan yang mencolok.Â
Istilah "Mahasewa" menjadi populer sebagai sindiran bagi mahasiswa yang seolah lebih peduli soal imbalan materi daripada perjuangan yang tulus. Ironis, bukan? Gerakan yang dulunya dipenuhi semangat kolektif kini perlahan-lahan ternoda oleh kepentingan individu.
Dengan semakin banyaknya isu sosial yang mendapat perhatian, kita perlu bertanya: bagaimana membedakan demonstrasi yang tulus dari yang telah terkontaminasi oleh kepentingan materi? Satu indikator yang mungkin bisa membantu adalah jumlah peserta.
 Ketika kita melihat aksi yang hanya dihadiri oleh segelintir orang---kurang dari 30---ada kemungkinan bahwa tindakan tersebut bukan benar-benar didorong oleh kesadaran sosial, melainkan oleh agenda pribadi. Dalam konteks ini, uang menjadi motivasi utama, dan idealisme pun terancam pupus.
Mengapa angka 30 itu penting? Dalam pengalaman saya, ketika isu yang diangkat memiliki relevansi yang kuat, akan ada lebih banyak mahasiswa yang turun ke jalan.
 Ini bukan hanya soal jumlah; ini tentang kesadaran kolektif. Dalam aksi besar, kita sering melihat semangat bersama, di mana mahasiswa merasa tergerak untuk bersolidaritas. Ada energi di udara yang tak bisa disangkal.
Namun, kita juga harus memahami bahwa kondisi sosial saat ini sangat kompleks. Tekanan ekonomi, biaya hidup yang terus meningkat, dan ketidakpastian lapangan pekerjaan merupakan tekanan yang nyata.
 Di tengah situasi tersebut, godaan untuk menerima imbalan dari aksi demonstrasi menjadi semakin menggiurkan bagi sebagian mahasiswa. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka; keadaan ekonomi memaksa banyak orang untuk bertindak pragmatis.
Di sinilah letak tantangan besar bagi mahasiswa zaman sekarang. Bagaimana mereka bisa tetap menjaga idealisme di tengah godaan materi yang mengintai? Demonstrasi seharusnya menjadi wadah untuk menyuarakan keadilan, bukan sebagai sarana mencari keuntungan pribadi. Mahasiswa harus ingat peran mereka sebagai penjaga moralitas dan suara kebenaran.