Mohon tunggu...
Alberten Kaidu
Alberten Kaidu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka berolahraga dan memancing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Megah di Kota, Sederhana di Desa: Gereja dan Solidaritas Dalam Iman Katolik..

30 November 2024   12:59 Diperbarui: 30 November 2024   12:59 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gereja Waetabula Sumba (www. Hidup Katolik.Com)

Jakarta 30/11/2024 (Aven Kaidu)

    Dalam tradisi Gereja Katolik, bangunan gereja memiliki peran yang lebih dari sekadar tempat ibadah. Gereja adalah simbol iman, pusat kehidupan spiritual, dan tanda kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Setiap gereja, baik megah maupun sederhana, memiliki kisah unik yang mencerminkan kehidupan umat di sekitarnya. Di kota-kota besar, gereja-gereja berdiri dengan kemegahan yang menakjubkan, menjadi ikon iman dan budaya. Di sisi lain, di desa-desa terpencil, gereja sering kali berdiri dalam kesederhanaan, namun menjadi tempat di mana umat menjalani kehidupan iman dengan penuh ketulusan. Kedua wujud ini, meskipun berbeda secara fisik, bersatu dalam misi yang sama: membawa umat kepada Allah dan membangun solidaritas dalam iman.

Gereja-gereja di kota besar sering kali menjadi pusat perhatian, baik karena sejarahnya yang panjang maupun arsitekturnya yang mengesankan. Gereja Katedral Jakarta, misalnya, adalah salah satu contoh yang paling terkenal. Dengan gaya arsitektur neo-gotiknya, gereja ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga daya tarik bagi wisatawan lokal dan internasional. Gereja megah seperti ini mencerminkan usaha umat untuk memberikan yang terbaik kepada Tuhan, sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) Kanon 1214 bahwa gereja adalah "bangunan suci yang diperuntukkan bagi ibadat ilahi kepada Allah."

Kemegahan gereja-gereja di kota tidak hanya mencerminkan iman umat, tetapi juga fungsi sosialnya. Gereja sering menjadi tempat pertemuan berbagai kelompok masyarakat, baik untuk kegiatan pastoral maupun sosial. Dengan sumber daya yang melimpah, gereja-gereja di kota juga sering terlibat dalam program-program kemanusiaan, seperti pelayanan kepada kaum miskin, pendidikan, dan kesehatan. Namun, di balik kemegahan ini, ada tantangan yang tidak dapat diabaikan. Kehidupan di kota besar sering kali membuat umat terjebak dalam individualisme dan materialisme. Gereja harus mampu menjadi oasis spiritual, tempat di mana umat menemukan kedamaian di tengah hiruk-pikuk kehidupan urban. Dalam ensiklik Evangelii Gaudium (2013), Paus Fransiskus mengingatkan bahwa Gereja harus menjadi "rumah bagi semua orang, tempat setiap orang merasa diterima dan dicintai."

Sebaliknya, gereja-gereja di desa sering kali berdiri dalam kesederhanaan. Tanpa arsitektur yang megah atau fasilitas yang lengkap, gereja-gereja ini mencerminkan kehidupan umat yang bersahaja. Namun, di tengah keterbatasan material, gereja desa sering menjadi pusat kehidupan iman yang dinamis. Di sinilah umat berkumpul untuk merayakan Ekaristi, berdoa bersama, dan berbagi kehidupan. Gereja desa juga menjadi tempat di mana solidaritas nyata terjadi. Dalam proyek pembangunan atau renovasi gereja, umat bekerja bersama, menyumbang tenaga dan bahan seadanya. Hal ini mencerminkan ajaran dalam ensiklik Deus Caritas Est (2005) bahwa "cinta kasih adalah inti dari iman Kristen, yang tidak hanya diekspresikan dalam doa tetapi juga dalam tindakan nyata untuk sesama."

Kesederhanaan gereja desa juga sering kali memperlihatkan ketergantungan total umat kepada Allah. Dalam banyak kasus, umat di desa menghadapi tantangan besar, mulai dari kemiskinan hingga diskriminasi karena menjadi minoritas. Namun, justru dalam situasi seperti inilah iman mereka semakin kuat. Buku Rural Ministry: The Shape of the Church in Rural Communities karya Shannon Jung (2016) mencatat bahwa gereja desa sering menjadi "benteng iman," tempat umat mendapatkan kekuatan dan keberanian untuk menjalani kehidupan sehari-hari.

Di tengah perbedaan yang mencolok antara gereja kota dan desa, Gereja Katolik memiliki tugas penting untuk membangun solidaritas di antara umatnya. Perbedaan ini tidak boleh menjadi penghalang, melainkan jembatan yang menghubungkan. Gereja kota dengan segala sumber dayanya memiliki tanggung jawab untuk mendukung gereja-gereja desa yang sering kekurangan. Bantuan ini dapat berupa dukungan finansial, pelatihan pastoral, atau bahkan pengadaan fasilitas ibadat. Solidaritas ini mencerminkan ajaran dalam Lumen Gentium (1964) bahwa Gereja adalah satu tubuh Kristus, di mana setiap anggota dipanggil untuk saling menopang dalam kasih.

Namun, solidaritas ini bukan hanya tanggung jawab institusi Gereja. Umat sendiri harus dilibatkan dalam membangun hubungan yang lebih erat antara kota dan desa. Program-program pastoral yang melibatkan umat dari kedua wilayah dapat menjadi sarana untuk mempererat persaudaraan. Misalnya, umat kota dapat mengunjungi gereja-gereja di desa untuk berbagi pengalaman iman, sementara umat desa dapat menginspirasi umat kota dengan ketulusan dan kesederhanaan mereka. Dalam ensiklik Laudato Si' (2015), Paus Fransiskus menulis, "Kesederhanaan hidup adalah tanda dari iman yang matang, yang tidak bergantung pada kemewahan duniawi tetapi pada kasih Tuhan."

Pengalaman ini tidak hanya memperkaya kehidupan spiritual masing-masing umat, tetapi juga membantu menciptakan kesadaran akan pentingnya saling mendukung dalam tubuh Kristus. Solidaritas ini juga relevan dalam konteks sosial yang lebih luas. Gereja Katolik, dengan jaringan globalnya, memiliki kapasitas untuk menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai kelompok masyarakat. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, solidaritas yang ditunjukkan oleh Gereja dapat menjadi contoh bagaimana perbedaan dapat dipersatukan dalam kasih Kristus.

Selain itu, perbedaan antara gereja kota dan desa juga mengingatkan kita akan keindahan keberagaman dalam Gereja Katolik. Meskipun berbeda dalam wujud fisik, semua gereja adalah bagian dari tubuh Kristus yang satu. Perbedaan ini mencerminkan kekayaan iman Katolik yang mampu menyesuaikan diri dengan berbagai konteks budaya dan sosial. Dalam doa Yesus sebelum wafat, Ia memohon, "Supaya mereka semua menjadi satu" (Yohanes 17:21). Doa ini adalah panggilan bagi Gereja di kota maupun di desa untuk hidup dalam solidaritas, saling mendukung, dan bersama-sama menyatakan kasih Allah kepada dunia.

Dalam praktiknya, solidaritas ini dapat diwujudkan melalui berbagai cara. Banyak keuskupan di Indonesia telah memulai program-program yang menghubungkan paroki-paroki di kota dengan paroki-paroki di desa. Misalnya, umat dari gereja kota dapat membantu pembangunan atau renovasi gereja di desa. Sebaliknya, umat dari desa dapat mengajarkan umat kota tentang cara hidup yang lebih sederhana dan berbasis pada komunitas. Interaksi ini tidak hanya mempererat hubungan, tetapi juga memperkaya pengalaman iman masing-masing pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun