Dalam bukunya "God and Globalization" (2000), Peter Beyer menjelaskan bahwa agama dapat menjadi kekuatan positif dalam pembangunan jika digunakan dengan benar. Di Indonesia, agama berfungsi sebagai pedoman moral dan sosial, memberikan arah bagi masyarakat untuk hidup dalam harmoni. Tetapi, Beyer juga mengingatkan bahwa agama memiliki potensi untuk menjadi alat kekuasaan yang destruktif jika disalahgunakan.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia adalah bagaimana menjaga agama tetap relevan tanpa menjadi sumber konflik. Emilio Gentile dalam "Political Religion" (2006) menjelaskan bahwa ketika agama digunakan untuk kepentingan politik, ia dapat berubah menjadi senjata yang memecah belah masyarakat. Di Indonesia, fenomena seperti politisasi agama atau intoleransi terhadap kelompok minoritas adalah ancaman nyata yang dapat menghambat pembangunan bangsa.
Selain itu, Indonesia menghadapi dilema modernisasi. Di satu sisi, negara ini ingin mengejar kemajuan ekonomi dan sosial seperti negara-negara maju, tetapi di sisi lain, nilai-nilai tradisional dan agama sering kali berbenturan dengan tuntutan modernitas. Bagaimana Indonesia dapat memadukan keduanya?
Pelajaran dari Denmark dan Swedia untuk Indonesia
Indonesia tidak harus menjadi sekuler seperti Denmark dan Swedia untuk maju. Namun, ada pelajaran penting yang dapat diambil dari kedua negara tersebut. Salah satunya adalah pentingnya kebijakan berbasis bukti. Denmark dan Swedia berhasil maju karena mereka menempatkan sains, pendidikan, dan logika sebagai dasar pengambilan keputusan. Hal ini sejalan dengan pandangan Yuval Noah Harari dalam "Homo Deus" (2015), yang menekankan pentingnya data dan teknologi dalam membangun peradaban modern.
Selain itu, solidaritas sosial yang kuat di Denmark dan Swedia menunjukkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan dapat menjadi landasan bagi pembangunan. Indonesia, dengan kekayaan tradisi dan religiusitasnya, dapat menciptakan model pembangunan yang unik, yaitu memadukan nilai-nilai agama dengan prinsip-prinsip universal seperti keadilan dan kesetaraan.
Namun, Indonesia juga harus berhati-hati agar religiositas yang kuat tidak berubah menjadi fanatisme. Dalam "The Clash of Civilizations" (1996), Samuel P. Huntington memperingatkan bahwa konflik antarbudaya dan agama sering kali muncul dari ketidakmampuan masyarakat untuk saling memahami. Indonesia, dengan keragaman etnis dan agamanya, harus menjadi contoh bagaimana harmoni dapat diwujudkan di tengah perbedaan.
Kesimpulan
Denmark dan Swedia membuktikan bahwa masyarakat tanpa Tuhan sekalipun dapat maju jika memiliki fondasi moral yang kuat, meskipun berasal dari masa lalu religius mereka. Indonesia, dengan identitasnya yang religius, memiliki peluang besar untuk menciptakan model pembangunan yang lebih holistik. Dengan memadukan nilai-nilai agama dengan kebijakan modern berbasis data, Indonesia dapat menjadi negara yang tidak hanya maju secara material, tetapi juga bermartabat dan berkeadilan.
Namun, keberhasilan ini membutuhkan upaya kolektif. Agama harus dilihat sebagai kekuatan pemersatu, bukan pemecah belah. Jika Indonesia mampu mengelola religiositasnya dengan bijak, negara ini tidak hanya akan menjadi contoh bagi dunia, tetapi juga membuktikan bahwa modernitas dan religiusitas dapat berjalan seiring. Seperti yang dikatakan Amartya Sen dalam "Development as Freedom" (1999), pembangunan sejati adalah tentang memperluas kebebasan manusia, termasuk kebebasan untuk hidup dalam damai dan harmoni. Inilah tantangan dan peluang besar bagi Indonesia di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H