Roma/22/11/2024. (Aven Kaidu)
  Â
Denmark dan Swedia adalah negara yang sering dianggap sebagai puncak peradaban modern. Dalam banyak laporan seperti World Happiness Report dan Human Development Index, kedua negara ini hampir selalu menempati peringkat teratas. Sistem kesejahteraan sosial yang adil, tingkat kejahatan yang rendah, serta akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang merata menjadikan Denmark dan Swedia sebagai "surga dunia." Namun, hal yang menarik dan sering menjadi perdebatan adalah bagaimana keberhasilan itu diraih dalam konteks masyarakat yang mayoritas tidak beragama.
Di Denmark dan Swedia, religiositas telah lama memudar. Survei Pew Research Center (2017) menunjukkan bahwa kurang dari 20% populasi di kedua negara tersebut merasa agama memainkan peran penting dalam hidup mereka. Gereja-gereja yang dulunya menjadi pusat komunitas kini lebih sering difungsikan untuk kegiatan budaya atau pernikahan. Bahkan, Phil Zuckerman dalam bukunya "Society Without God" (2008) menyebut masyarakat Nordik sebagai contoh nyata bahwa kehidupan bermoral dan teratur bisa tetap terwujud tanpa kehadiran Tuhan sebagai sentralitas. Namun, apakah hal ini benar-benar tanpa implikasi?
Zuckerman mencatat bahwa meskipun masyarakat Denmark dan Swedia sekarang hampir sepenuhnya sekuler, mereka tetap dipengaruhi oleh warisan nilai-nilai Kristen yang telah membentuk budaya mereka selama berabad-abad. Etos kerja keras, solidaritas, dan keadilan sosial yang sangat terlihat di negara-negara ini tidak datang dari ruang kosong, melainkan dari ajaran-ajaran moral Kristen yang mendominasi kehidupan mereka di masa lalu. Dengan kata lain, sekularisme mereka tidak benar-benar menghapus pengaruh agama, melainkan mengubah cara nilai-nilai tersebut diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Denmark dan Swedia: Keberhasilan atau Paradoks?
Charles Taylor dalam "A Secular Age" (2007) menjelaskan bagaimana modernitas membawa masyarakat menuju sekularisasi, di mana agama tidak lagi menjadi pusat kehidupan. Bagi Denmark dan Swedia, sekularisasi ini dianggap sebagai bagian dari proses kematangan sosial. Di sana, agama tidak lagi dipandang sebagai solusi atas masalah-masalah kehidupan, tetapi digantikan oleh sains, rasionalitas, dan kebijakan berbasis bukti. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Taylor, sekularisasi bukan berarti penghapusan agama, melainkan penataan ulang fungsi agama dalam masyarakat.
Paradoksnya adalah bahwa meskipun agama tidak lagi menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari di Denmark dan Swedia, masyarakat mereka tetap hidup dengan nilai-nilai moral yang mirip dengan ajaran agama. Hal ini terlihat dari cara mereka mengelola sistem kesejahteraan sosial yang menekankan keadilan dan kesetaraan. Phil Zuckerman menegaskan bahwa keberhasilan ini tidak hanya karena sekularisme, tetapi juga karena masyarakat Nordik memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap institusi dan rasa tanggung jawab kolektif yang kuat.
Namun, tidak semua kritik terhadap model sekularisme ini dapat diabaikan. Dalam buku "The Death of God and the Meaning of Life" (2007), Julian Young memperingatkan bahwa masyarakat yang sepenuhnya sekuler dapat menghadapi krisis eksistensial. Tanpa agama, manusia mungkin kehilangan tujuan hidup yang lebih besar, yang pada akhirnya dapat memengaruhi kebahagiaan jangka panjang. Meski Denmark dan Swedia tampak damai di permukaan, ada juga tantangan terkait meningkatnya tingkat depresi dan bunuh diri di masyarakat mereka.
Indonesia: Religiusitas dan Tantangan Modernisasi
Indonesia adalah kebalikan dari Denmark dan Swedia. Sebagai negara dengan populasi mayoritas religius, agama memainkan peran sentral dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai seperti gotong royong, toleransi, dan kepedulian sosial sering dikaitkan dengan ajaran agama. Namun, apakah religiositas yang kuat ini selalu membawa Indonesia menuju kemajuan?