Sampah didefinisikan sebagai benda dengan nilai kecil yang terbuang karena sudah tidak dibutuhkan atau dipakai lagi. Biasanya, sampah dihasilkan dari aktivitas masyarakat dan masih menjadi sumber permasalahan lingkungan di Indonesia. Berdasarkan laporan produksi sampah tahunan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui laman Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) (diakses pada 17 Januari 2024), diketahui bahwa total produksi sampah di 137 kabupaten/kota secara nasional pada tahun 2023 sebesar ± 17 juta ton dengan jenis sampah terbanyak berupa sampah organik (± 52%).
Secara umum, pengelolaan sampah yang dilakukan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) menggunakan metode open dumping, yaitu penumpukan dan pembiaran sampah begitu saja tanpa usaha pemrosesan lanjutan. Metode tersebut mengakibatkan berbagai persoalan baru berupa pencemaran tanah (kontaminasi bahan kimia/toksik dari sampah), air tanah (kontaminasi dengan air lindi), udara (bau menyengat dari sampah), potensi penularan penyakit, dan mengurangi estetika lingkungan.
Di sisi lain, dekomposisi sampah organik oleh mikroba pengurai dapat menghasilkan gas metana (CH4) (merupakan salah satu jenis gas rumah kaca) yang berpotensi menyebabkan kebakaran di area TPA ataupun pemicu terjadinya pemanasan global. Adapun metode lain dalam pengelolaan sampah meliputi controlled dan sanitary landfill, namun kedua metode tersebut membutuhkan biaya operasional yang cukup besar. Oleh sebab itu, strategi pengolahan sampah lainnya yang dapat diaplikasikan yaitu dengan memanfaatkan kemampuan larva sebagai dekomposer sampah organik.
Larva (maggot dalam bahasa Inggris) merupakan bentuk juvenil dari serangga yang mengalami fase metamorfosis sempurna. Berbicara tentang larva, nyatanya mayoritas dari masyarakat awam mengenal larva dengan nama belatung dan anggapan sebagai hewan yang menjijikkan dan mendatangkan penyakit. Padahal, tidak semua larva berpotensi sebagai vektor penyakit, malahan memiliki peran krusial bagi alam yakni sebagai agen pengurai atau dekomposer materi organik, seperti contohnya larva lalat tentara hitam (black soldier fly/BSF).
Larva BSF berasal dari lalat tentara hitam (nama ilmiah: Hermetia illucens L.) yang memiliki kemampuan dalam mendekomposisi sampah organik dengan kurun waktu yang relatif singkat. Lalat tentara hitam secara alami hidup di sekitar tumpukan kotoran babi, sapi, ataupun unggas-unggas berukuran besar sehingga dijuluki sebagai “larva jamban” (van Huis et al., 2013). Secara singkat, siklus hidup lalat tentara hitam dari telur hingga imago berlangsung selama ± 45 hari (Saputra et al., 2023). Keberadaan larva BSF digadang-gadang sebagai solusi pengolahan limbah organik yang lebih efisien dan menjadi pendekatan inovatif bagi masyarakat guna menjaga masa depan lingkungan secara berkelanjutan (sustainable).
Kemampuan larva BSF dalam menguraikan sampah organik tampaknya sudah tidak perlu diragukan lagi karena sudah banyak penelitian dalam negeri yang membahas terkait hal tersebut. Seperti contohnya penelitian Julita et al. (2019) yang menyatakan bahwa sampah berupa sisa sayuran dan buah-buahan dapat dijadikan sebagai media pertumbuhan bagi larva BSF. Hal tersebut berarti larva BSF mampu mengolah sampah organik menjadi sumber nutrisi tubuhnya. Penelitian lain oleh Kastolani (2019) melaporkan bahwa sebanyak 56% atau 448 kg sampah organik berhasil tereduksi dengan bantuan larva BSF di sekitar bantaran Sungai Citarum, Kecamatan Dayeuhkolot. Adapun larva BSF juga mampu mendekomposisi sampah organik yang berasal dari peternakan seperti dilaporkan oleh Julita et al. (2018).
Dalam penelitiannya, larva BSF dapat bertumbuh pada media berupa kotoran domba maupun kuda, namun disarankan untuk menambahkan sampah sayuran agar kualitas pertumbuhan larva BSF lebih baik. Terkait emisi gas rumah kaca seperti metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O), pengomposan sampah organik dengan bantuan larva BSF menghasilkan lebih sedikit kedua jenis gas tersebut daripada pengomposan secara konvensional.
Pengomposan sampah organik dengan bantuan larva BSF menghasilkan CH4 dan N2O masing-masing sebesar 2,4 mg/kg dan 1,0 mg/kg, sedangkan dihasilkan 1500 mg/kg CH4 dan 1200 mg/kg N2O ketika pengomposan dilakukan secara konvensional (Kim et al., 2021). Rendahnya emisi CH4 dan N2O disebabkan oleh minimnya kondisi anaerob pada substrat akibat adanya suplai oksigen ke seluruh bagian substrat melalui pergerakan larva BSF selama proses pengomposan sehingga menghambat kinerja metanogen dan bakteri denitrifikasi.
Residu pengomposan dengan larva BSF yang disebut dengan bekas maggot (kasgot) dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Menurut penelitian Agustin et al. (2023), kasgot yang dihasilkan dari pengomposan sampah nasi, sayur, dan buah dengan bantuan larva BSF dapat dijadikan sebagai pupuk organik padat karena memenuhi standar mutu pupuk organik padat yang ditetapkan oleh Kepmentan (2019).
Konsentrasi unsur hara pada kasgot BSF umumnya bervariasi, tergantung pada substrat diberikan, tetapi menurut ulasan Lopes et al. (2022), total unsur C (karbon), total N (nitrogen), total P (fosfor), dan total K (kalium) masing-masing sekitar 37%, 3%, 1-5%, dan 0.5-4,1%. Dalam ulasan tersebut juga disebutkan bahwa tanaman yang diberi kasgot BSF sebagai pupuk organik berdampak pada pertumbuhan yang baik karena kasgot BSF kaya akan mikroorganisme yang dapat menstimulasi pertumbuhan tanaman (disebut dengan plant growth-promoting microorganisms/PGPM).
Di sisi lain, adanya kitin pada kasgot BSF dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri kitinolitik yang berperan sebagai pestisida alami untuk patogen tanaman seperti spesies fungi dan nematoda dengan mekanisme aksi berupa degradasi kitin pada dinding sel fungi ataupun kulit telur nematoda. Keberadaan kitin pada kasgot BSF disebabkan oleh adanya pergantian kulit larva BSF selama masa pertumbuhannya, di mana kulit larva tersebut mengandung kitin. Perihal tingkat kematangan dan kestabilan kasgot BSF memang masih menjadi kontroversi di kalangan para peneliti, seperti pada penelitian Alattar et al. (2016) yang mengevaluasi kinerja kasgot BSF (didapat melalui pengomposan sampah sisa makanan selama 6 minggu dengan larva BSF) pada tanaman jagung (Zea mays) dan hasilnya menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi dan daun tanaman mengalami sedikit penghambatan yang belum diketahui penyebab pastinya. Namun, penelitian lain oleh Beesigamukama et al. (2020) yang menggunakan kasgot BSF (hasil pengomposan larva BSF selama 2 minggu dan dikomposkan kembali selama 5 minggu) pada tanaman jagung, didapatkan hasil pertumbuhan jagung yang lebih baik daripada perlakuan pupuk organik komersial dari segi tinggi tanaman, konsentrasi klorofil, dan serapan nitrogen serta fosfor oleh tanaman.
Menurut peneliti, hal tersebut disebabkan oleh ketersediaan unsur hara dan tingginya laju mineralisasi pada kasgot BSF. Secara garis besar, perbedaan hasil pertumbuhan tanaman jagung pada kedua penelitian tersebut tampaknya disebabkan oleh perbedaan kualitas kasgot BSF yang berhubungan dengan tingkat kematangan maupun kestabilan kasgot.
Proses pengomposan yang cenderung cepat oleh larva BSF dikhawatirkan berdampak pada keamanan penggunaan kasgot BSF sebagai pupuk organik. Oleh sebab itu, disarankan untuk melakukan pengomposan lanjutan pada kasgot BSF sebelum diaplikasikan pada tanaman guna menjamin keamanan dari kasgot tersebut. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu pekerja di Omah Maggot Jogja, yakni Bapak Tri (21 Januari 2024) berpendapat bahwa pematangan kasgot BSF dapat dilakukan dengan cara dibiarkan saja, namun membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga alternatif pematangan lainnya dapat dilakukan dengan cara dijemur hingga berbentuk seperti pasir dan remah. Secara umum, kasgot BSF dapat dijadikan sebagai pilihan pupuk organik yang mudah, murah, dan efektif bagi tanaman maupun lingkungan.
Upaya pengelolaan sampah tentunya harus dilakukan sebaik mungkin dengan meminimalkan segala risiko buruk yang ditimbulkan terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Sebagai bagian dari alam, larva BSF dapat dimanfaatkan sebagai “mesin penghancur” sampah/limbah organik berbasis hayati yang aman, cepat, mudah, murah, dan ramah lingkungan. Adapun penulis juga memanfaatkan larva BSF sebagai upaya pengolahan sampah organik mandiri, disamping itu, masyarakat pun dapat mengolah sampah rumah tangga mereka secara mandiri dengan larva BSF dan residu pengomposannya dapat digunakan sebagai pupuk bagi tanaman. Walaupun larva BSF tidak dapat menguraikan sampah anorganik, namun gagasan tentang daur ulang tampaknya menjadi langkah yang patut diterapkan dalam masyarakat untuk menjaga kesehatan lingkungan bagi generasi mendatang. Mari bijak mengolah sampah mulai dari diri sendiri untuk pelestarian lingkungan demi menjaga kelayakan bumi hunian bersama yang nyaman dan berkelanjutan (sustainable living).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H