Mohon tunggu...
Tony albi
Tony albi Mohon Tunggu... Freelancer - berniat baik dan lakukan saja

tulis aja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Gibran Cawalkot Solo, Kenapa Ribut?

31 Juli 2020   05:06 Diperbarui: 31 Juli 2020   05:17 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari sisi usia saya dan Gibran Rakabuming Raka beda generasi, kenalpun tidak. Gibran baru menjadi kader PDIP sementara saya anggota partai manapun tidak. Hanya dari berita yang saya baca, Gibran sebagai anak muda yang cukup berani dengan memulai usaha setelah selesai sekolahnya dan relatif cukup berhasil, acung jempol saya buat anak muda di generasinya.

Ramai suara, mulai dari partai politik, pengamat maupun kubu yang bersebrangan, menyatakan ketidak pasnya Gibran sebagai Cawalkot solo saat ini, ada yang menyatakan otak kososng versus kotak kosong, lainnya mengatakan adalah pertarungan Jokowi versus lawannya dan ini adalah dinasti politik, berbagai pendapat mengenai pencalonan Gibran sebagai Cawalkot yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi. Terus dimana masalahnya ?.

Dalam demokrasi, setiap orang berhak untuk dipilih dan memilih, bukan ?. Jika kita sepakat tentang  itu, kenapa harus berisik ?. Siapapun calonnya tinggal rakyat mau memilihnya tidak ?. Apakah dia anak Presiden, pemilik partai politik, pengusaha atau rakyat biasa, siapapun itu, semua berhak untuk dipilih baik melalui partai atau jalur independen. Bukankah begitu aturan mainnya ?.

Keramaian ini disebabkan karena partai-partai politik tidak mempunyai kader yang mumpuni, terjadi kemandekan proses kaderisasi dalam partai politik. Akhirnya banyak partai bergabung pada partai dengan suara mayoritas dan punya kader/kandidat guna meraup suara dalam pilkada di daerahnya.

Jika kaderisasi partai berjalan baik harusnya Cawalkot Solo tidak menjadi masalah karena begitu banyak bakal calon yang tersedia di setiap partai. Atau partai tidak percaya diri untuk mencalonkan kadernya sendiri, hitung-hitung untuk melihat animo masyarakat terhadap partainya diwilayah tersebut.

Benar memang, demokrasi kita masih diwarnai oleh oligarki selain kepemilikan partai. Tapi partai-partai selalu berhitung suara yang mampu diraih oleh calonnya, terlepas jika bakal calon harus dengan mahar oleh partai.

Tapi pandemi ini mengajarkan pada kita sebagai pemilih, tentang kualitas kepala daerah dalam menangani wabah ini, disini harusnya think thank internal partai mampu menganalisa dan menyiapkan kader terbaiknya untuk maju dalam pilkada mendatang.

Pertanyaannya, kenapa ramai suara begitu Gibran diusung oleh DPP PDIP sebagai Cawalkot ?. Mari kita lihat komposisi kursi di DPRD kota Solo masa jabatan 2019-2024, dari jumlah 45 kursi, PDIP meraih dominan 30 kursi, berikutnya PKS dengan 6 kursi, selanjutnya Golkar 3 kursi, begitu juga dengan PAN dan Gerindra dan PSI 1 kursi.

Artinya dengan kata lain, Solo adalah wilayah yang mayoritas penduduknya memilih PDIP. Seharusnya sejak jauh hari jika berminat untuk menghadapi calon dari PDIP dalam pilkada Solo, setidaknya partai yang memperoleh kursi sedikit saling melobi untuk menyamakan visi dan misinya guna pilkada ini, 2 atau 3 partai bergabung untuk memenuhi kuota pengajuan calon sendiri sebanyak 9 kursi, nyatanya partai-partai yang ada di kota Solo, tidak mampu melakukannya dan tidak percaya diri, akhirnya nanti kita melihat formalitas dari partai untuk bergabung menghadapi Gibran atau calon independen dalam pilkada Solo mendatang jika tidak ingin bertarung dengan kotak kosong. Fenomena calon tunggal sudah ada sejak tahun 2015, ini tidak baik untuk iklim demokrasi kita.

Jika suara pengamat atau partai membuat ramai hal ini, itu wajar saja sepanjang tidak menyerang personal. Jika menengok kebelakang dalam pilkada DKI Jakarta tahun 2017, Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY ), apakah seramai ini ?, Apakah dia kaya akan pengalaman berpolitik ? 

Kenapa Demokrat tidak mencalonkan Ibas saja yang lebih punya pengalaman di dunia politik. Jika itu syaratnya adalah pengalaman di dunia yang di gelutinya, sama halnya jika fresh graduate dari universitas ataupun politeknik mau melamar kerja ditanya pengalaman kerjanya, bukan ?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun