Mohon tunggu...
Tony albi
Tony albi Mohon Tunggu... Freelancer - berniat baik dan lakukan saja

tulis aja

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Suara Rakyat dan Oposisi

13 Oktober 2019   01:29 Diperbarui: 13 Oktober 2019   01:26 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, menjamin haknya, menampung suaranya melalui pemilihan wakilnya dengan mekanisme pemilu, itulah mengapa kita memilih demokrasi untuk negara tercinta ini.

Kendati sosio-kultur kita berbeda dengan demokrasi, budaya kita yang paternalistik, lebih berformat dari atas ke bawah (top down),sedangkan demokrasi adalah sistem dengan format dari bawah ke atas (bottom up). 

Karena itulah para pendiri negara (founding father)sebelum kemerdekaan, terus mengali nilai-nilai demokrasi agar sesuai (compatible) untuk kultur bangsa ini. 

Setelah perdebatan panjangnya, akhirnya kesepakatan itu tertuang pada dasar negara yaitu Pancasila, yang memuat demokrasi ala Indonesia pada sila ke empatnya, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Suara Rakyat

Dalam demokrasi, rakyat adalah subjek sekaligus objeknya. Beragamnya suara rakyat atas nama kebebasan berpendapat harus ditampung, baik pro maupun kontra pada demokrasi itu sendiri. Perkembangan teknologi informasi telah memberi ruang untuk suara rakyat atau publik yaitu media sosial, sebuah media tanpa portal, telah menjadi amplifier dari beragamnya suara publik dan informasi.

Bisingnya suara di media sosial ditambah populisme islam yang memainkan sentimen keyakinan lebih mengema karena berkelindan dengan kontestasi pilpres.

 Populisme agama melahirkan gerakan massa atas nama kelompok berlabel suara "rakyat", " ummat", bahkan " ulama" dibolehkan oleh demokrasi dengan dalih aspirasi publik.

Populisme ini melahirkan gerakan massa, terlihat pada aksi 411 dan 212 pada pilkada DKI tahun 2016, isu agama coba diangkat lagi pada pemilu 2019, tapi tidak efektif pada level nasional karena cakupan luas wilayah dan keragaman penduduknya, bahkan mendapat penolakan yang sama besarnya dari kelompok masyarakat lainnya, sebab gerakan ini terkesan elitis, eksklusif, dan cendrung politis arahnya.

Pertanyaannya, apakah hoax dan populisme agama itu didesain untuk dimanfaatkan oleh elit guna meraih suara dalam kontestasi atau demi status quo dari skenario hidden agenda kelompoknya? Tapi inilah yang melahirkan militansi pilihan politik publik dengan sebutan cebong dan kampret.

Oleh demokrasi, keragaman suara publik harusnya mampu di kanalisasi oleh partai politik dengan menawarkan program berbasis ideologinya. 

Misal, program biaya sekolah terjangkau oleh partai X, partai Y menawarkan program pengurangan pajak pada pelaku usaha yang mempekerjakan penyandang disabilitas, dan seterusnya. Disertai data dan argumentasinya bahwa programnya dapat diwujudkan, bukan "angin surga" pada masa kampanye.

Tawaran agenda kebijakan atau program dari partai, berbasis ideologinya dan solutif lebih menarik bagi publik karena mampu menangkap realitas dalam programnya, bukan meraih suara dengan politik SARA, dan bukan pada tokoh atau figur di partai tersebut. 

Ini memberikan pendidikan politik pada rakyat, dan mewujudkan masyarakat madani ( civil soceity ) yang kuat berlandaskan rasionalitas, keberagaman, serta toleransi agar demokrasi berjalan paralel bersama masyarakatnya menuju kematangan cara kita bernegara.

Oposisi

Dalam konsep trias politica, meliputi legislatif, eksekutif dan yudikatif, oposisi merupakan bagian dari mekanisme sistem pengawasan dan keseimbangan (check and balances system) untuk saling mengawasi, agar masing-masing tidak melampaui batas domain kekuasannya, demi tegaknya aturan hukum bernegara dalam demokrasi.  

Setelah dormant cukup lama, demokrasi mulai tumbuh kembang setelah era reformasi 98, relatif muda, wajar saja partai politik pun masih gagap menawaran program atau kebijakan berbasis ideologinya. 

Alhasil terbentuknya koalisi untuk kontestasi pilpres lalu, hanya sebatas  pemenuhan administrasi dari tuntutan undang-undang.

Pemilu telah berlalu, partai politik mulai berwacana dan bermanuver untuk posisi, dan kursi kabinet, sudah menjadi tradisi setiap usai pemilu. 

Pada kampanye lalu kedua kubu koalisi berbeda platformnya, dan pihak yang kalah guna menjaga amanat suara publik padanya, pilihannya jelas harus oposisi, meskipun konstitusi tidak mewajibkannya, tapi dalam demokrasi, oposisi itu lazim adanya agar terjadi check and balances system dari kekuasaan. 

Oposisi dengan acuan platformnya, harusnya mampu melakukan kritik konstruktif berbasis data, fakta, aturan atau kajian ilmiah agar bernilai dan bermartabat dimata publik, tidak asal bunyi. 

Karena suara oposisi selama ini cendrung personal bahkan melecehkan, apakah plonga plongo dan dungu itu kritik ?, mana kritik oposisi yang argumentatif supaya diskursusnya fokus pada aturan dan kebijakan.

Jika mengacu pada sila ke empat Pancasila, diperlukan para politisi berkualitas negarawan, mumpuni bergumentasi berbasis data, dan berpegang pada filosofi ideologi partainya hingga mampu menghidupkan perdebatan berkelas didalam parlemen, agaknya perlu waktu untuk sampai tahap itu, jika mentalitas para politisi masih oportunis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun