Mohon tunggu...
Tony albi
Tony albi Mohon Tunggu... Freelancer - berniat baik dan lakukan saja

tulis aja

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Kampanye dan Kita

22 Februari 2019   03:43 Diperbarui: 22 Februari 2019   03:51 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demokrasi, sebuah sistem bernegara, juga bukan sistem terbaik karena masih banyak perdebatan tentang demokrasi itu sendiri seiring dinamika masyarakatnya. Tapi sistem demokrasi konstitusilah berdasarkan pancasila yang disepakati menjadi acuan negara kita dalam menjalankan pemerintahannya.

Demokrasi dalam format one man one vote itulah diadakannya pemilu. Pemilu hanya sarana menyalurkan dan menghimpun beragamnya suara hak individu- individu guna menentukan wakil wakilnya dalam legislatif untuk menyuarakan kehendak individu-individu tersebut.

Keberagaman suara hak individu-individu dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bersama, itulah yang dimaknai sebagai kedaulatan rakyat, sejatinya begitu demokrasi.

Terlepas definisinya demokrasi dalam berbagai literatur ilmiah, pendek kata demokrasi adalah kepentingan, apa, siapa mendapat apa dari kepentingan itu.

Kampanye
Usaha dan tindakan untuk mendapatkan dukungan berkaitan dengan kepentingannya baik oleh perorangan, kelompok atau lembaga itulah kampanye.

Kaitan dengan pilpres dan pileg sekarang ini, kampanye diharapkan menarasikan ide, gagasan dan program yang senada dengan suara-suara ( aspirasi ) yang ada di masyarakat agar rakyat mendukung keterpilihannya.

Pilpres ini rematch  2014 hanya sedikit berbeda karena bersamaan dengan pileg. Tapi kemasan dan narasi kampanyenya sama saja seperti pada pilpres 2014 bahkan lebih mengaduk aduk emosi publik.

Narasi-narasi kampanye dengan identitas sempit yang dibangun oleh para politisi, " jika tidak bersama kami, anda adalah lawan", dampaknya mempertegas pembelahan di masyarakat semakin dalam. Pertanyaanya, demi kepentingan siapa narasi sempit juga dangkal, dalam kampanye oleh para politisi itu ?

Atas nama elektabilitas dan akseptabilitas, setiap hari ruang publik kita penuh dengan hoax, agitasi, saling ejek, alasan pembenaran, pembelaan dan saling lapor, begitu yang kita rasakan akhir-akhir ini.

Kampanye yg nirsubtansi membuat kita sebagai pemilik kedaulatan di negeri majemuk ini menjadi spiritnya. Panggung pesta demokrasi diisi oleh sensasi-sensasi kampanye, inikah cara dan laku berdemokrasi di negeri kita?

Ini bukan tulisan pesimis tentang pemilu, demokrasi apalagi ajakan golput, hanya pertanyaanya, siapa yang diuntungkan dengan militansi kita dalam pesta demokrasi yang bernama pemilu ini, anda, saya, atau para elit politik?

Jadi kenapa kita begitu membela hingga membelah kebersamaan dan persaudaraan kita sebagai anak bangsa. Pendidikan politik yang seharusnya diemban oleh partai maupun para politisi menjadi omong kosong belaka karena laku para politisi berkampanye demi raihan suara semata.

Bisingnya (noise ) kampanye ini tidak membuat kita menjadi masyarakat cerdas berdemokrasi. Teringat ungkapan, "Selama kampanye, angin terisi penuh dengan pidato-pidato dan sebaliknya pidato pidato itu hanya berisi angin", anonim. Jika hanya angin, apa ada suara kepentingan kita disitu?

Kita
Terlahir sebagai anak negeri  yang bertanah air Indonesia adalah given. Hidup di negara merdeka, beralam hijau, sinar matahari sepanjang tahun dan tentram dalam keberagamaan, harusnya kita mensyukuri nikmat tuhan ini.

Umur berdemokrasi negeri ini masih relatif muda, dinamika sosial masyarakat kitapun mengalami lompatan seiring perkembangan teknologi. Masyarakat yang awalnya sebagai pendengar langsung menjadi pembicara tanpa melalui tahapan membaca yang membuat kita kritis akan berbagai hal.

Semua orang dapat memproduksi berita atau pendapat tanpa diikuti data dan pakta, hingga menambah bisingnya ruang publik oleh berita/informasi tanpa tahu kebenarannya. Dan dunia pendidikan kita pun tidak mengajarkan pola dan laku kritis bagaimana melihat sesuatu dari berbagai perpektifnya.

Kita menjadi masyarakat yg miskin literasi tapi merasa paling tahu dan benar dengan definisi-definisinya sendiri atau kelompoknya. Keberpihakan kita menjadi buta karena tidak pernah melihat sesuatu dengan acuan yg memadai.

Dan atas nama demokrasi juga, kita semua bebas berbicara dan berpendapat sampai mengabaikan etika hingga meniadakan pihak lain hanya karena tidak berdiri pada sisi yang sama.

Tidak ada pemimpin pemerintahan yang ideal di dunia ini dalam kacamata masyarakatnya apapun sistem pemerintahannya, setidaknya kita tidak saling menyalahkan, karena pemerintahan yang sedang berjalanpun ada oposisi juga di legislatifnya.

Jika ingin menganti pemerintahan harusnya oposisi lebih mampu menawarkan gagasan-gagasan baru yang lebih terukur dan bagaimana cara mewujudkannya.

Kalau oposisi tidak menawarkan gagasan-gagasan baru, masyarakat pemilih hanya sebagai objek suara dari perhelatan akbar bernama pemilu ini. Akhirnya yang kita sama rasakan, seperti hembusan angin surga" dalam setiap perhelatan pilkada, pileg apalagi pilpres.  

Pemilu hanya siklus 5 tahunan dalam sistem demokrasi negeri ini. Jika ada pendapat ini adalah pesta demokrasi, harusnya suasana pesta ini sangat meriah dan ceria bukan semakin panas dan membelah kebersamaan kita.

Dalam kehidupan anda selalu dihadapkan pada pilihan, begitu juga dengan pilpres dan pileg saat ini. Silahkan saja tentukan pilihan anda tapi jangan menegasikan hak dan pilihan politik orang lain hingga merusak persaudaraan kita sebagai anak bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun