Mohon tunggu...
Tony albi
Tony albi Mohon Tunggu... Freelancer - berniat baik dan lakukan saja

tulis aja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Charlie Hebdo dan Prancis?

17 Januari 2015   22:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:56 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dasar tulisan ini adalah opini pribadi yang tidak disertai data,gambar dan riset

Turut berduka buat korban dalam kasus Charlie Hebdo di Prancis.

Tidak menerima kekerasan/teror dengan alasan apapun apalagi keyakinan/agama.

Agar tidak melebar, tulisan ini melihat dari sisi Pers, Budaya dan teror itu sendiri.

Media/Pers/jurnalistik.

Awal kebebasan Pers dimula dari tulisan John Milton (1608-1674) dalam Areopagitica (1644) sedikit kutipannya ;”…bagaimana perintah pelarangan itu akan menjadi ibu tiri bagi kebenaran… “ ditulis sebagai protes melawan usaha-usaha parlemen (Inggris) untuk mengatur media cetak.

Jika anda mau kebebasan anda harus terikat. Contoh : anda punya hak kebebasan dalam batasan umur tertentu untuk merokok tapi jika anda membuang puntung rokok sembarangan anda akan kena denda. Artinya ada aturan hukum yang mengikat orang dengan kebebasannya agar terjadi keteraturan dan ketertiban dalam ruang publik.

Pers dalam hal ini sering berlindung dalam undang-undang jurnalistik dan kebebasan Pers terlebih lagi di negara sekuler seperti Prancis dan negara-negara di Eropa umumnya.Pers tidak hanya dari sisi bisnis semata guna menaikan oplahnya, tapi juga berita , satire-satire (Charlie Hebdo) apapun itu hasil karya jurnalistik tidak masuk dalam wilayah yang mengganggu dari keharmonisan publik.

Silahkan saja membuat satire-satire tapi tidak dalam wilayah yang sangat rawan seperti agama dan fitnah terhadap individu. Saya termasuk orang yang suka dengan satire-satire politik tapi tidak untuk memfitnah tapi sangat tidak setuju dengan satire-satire keagamaan.

Kalau satire-satire disebut sebagai karya jurnalistik dan dilindungi oleh aturan kebebasan Pers tapi menganggu keharmonisan masyarakat sipil, maaf agak kasar saya sebut itu karya jurnalistik sampah. Kita masih ingat dalam pilpres RI tahun 2014, ada tulisan fitnah dibilang karya jurnalistik.

Pers itu seperti pelampung dilautan yang dihempas ombak sebesar apapun selalu diatas,(maaf buat rekan-rekan Pers, ini subjektif) artinya apapun yang dilakukan media/pers sepertinya tidak pernah salah. Saya hanya mengutip tulisan tentang toleransi dari John Locke (1632-1704) pada A letter concerning toleration (1685):“…ada baiknya merenungkan dalam dirinya betapa berbahayanya benih perpecahan dan peperangan,betapa kuatnya provokasi dan hasutan yang membakar api kebencian……“. Kasus Charlie Hebdo mengambarkan hal diatas.

Apakah kebebasan itu membebasan kita/masyarakat melakukan segala hal tanpa batasan ?

Kebebasan Pers tidak serta merta tanpa batasan etika dan moral dari pelakunya sendiri apalagi memprovokasi, menghina, fitnah dan menghasut.

Kultur/budaya

Sejarah sosial masyakat Eropa (homogen) dari perkembangannya, mulai dari paradigma metafisik-teologi-filsafat-positivistik. Era pencerahan filsafat oleh para filsuf itu seperti John Locke, Comte, Marx, Weber, Dahrendorf dan lainnya, apa dan bagiamana era pencerahan filsafat ini di eropa, mungkin yang lebih bisa menjelaskan ini rekan kompasiana yaitu Pak Nararya.

Masyarakat Eropa sejak abad pencerahan filsafat dan turunnya pengaruh gereja pada pangaturan masyarakat sipil, terlihat pada abad ke 18, perkembangan manusia bergeser dari agama ke rasionalisme yang menghadirkan keyakinan sekuler dalam memandang hakikat manusia, lebih individual/egosentris dan menjunjung asas kebebasan.

Rekan-rekan kompasiana yang tinggal di Eropa ( yang menjunjung kebebasan) bisa merasakan begitu banyak aturan yang mengatur tentang kehidupan bermasyarakat (lebih banyak aturannya dibanding Indonesia). Contoh di negara bagian Bayern ( Jerman ) merokok didalam cafe atau bar (kneipe) tidak boleh, begitu juga di stasiun kereta harus dalam garis kuning jika ingin merokok, begitu ketatnya aturan di Bayern (mungkin mas Elde) yang tinggal di München bisa menjelaskan lebih detail.

Sejak awal abad ke 20 Eropa dibanjiri pendatang dengan berbagi kultur dan keyakinan berbeda. Agak ironi memang Prancis adalah negara yang mengklaim sebagai pusat mode dunia tapi memakai jilbab dalam ruang publik di Prancis dipermasalahkan. Apa bedanya memakai jilbab dan rok mini itu adalah hal individu dalam berpakaian.

Ego masyarakat yang homogen dan merasa superior lebih gampang untuk terpicu oleh kerusuhan. Masyarakat Prancis sangat rentan sekali terhadapkerusuhan yang bersifat ras, golongan dan agama dibanding masyarakat negara-negara Eropa lainnya (subjektif).

Toleransi gampang sekali di ucapkan tapi perlu sejarah panjang dalam pelaksanaannya, ternyata masyakat Indonesia (negara kepulauan) yang lebih mudah menjadi masyarakat yang heterogen kerena kita lebih dahulu mengalami percampuran budaya dibanding masyarakat Eropa yang lebih homogen

Teror by design

Besarnya imigran ke Eropa akhir-akhir ini dan meningkat pemeluk islam di Eropa baik di Inggris, Jerman, Prancis dan lainnya serta semakin gencarnya pengakuan beberapa negara Eropa terhadap Palestina menjadi semacam momok bagi kelompok yang anti Islam dan toleransi.

Mastermind (aktor intelektualnya) ini lebih melihat basis negara-negara mana di Eropa yang sangat rawan terhadap kerusuhan ini, Kita masih ingat kerusuhan rasial di Prancis dalam tahun 2002 (maaf kalau salah ingat), serta sekarang punya pemicu dengan adanya tabloid seperti Charlie Hebdo, akhirnya Prancislah negara yang dipilih ini sebagai „operasi senyap“ dalam membuat kerusuhan guna mengalihkan mata dunia dari Islam dan Palestina yang tujuannya mengindentikan Islam dan teror, mengkaji ulang pengakuan negara Palestina serta menghambat perkembangan Islam di Eropa.

Pelaku dan mastermind teror sangat tidak manusiawi dan keyakinan/agama sifatnya individu tapi takut terhadap Islam adalah hal yang sangat tidak masuk akal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun