Saya tidak sedang memasang kacamata pesimis untuk melihat fenomena pilkada hijau. Rasanya sudah menjadi rahasia umum bahwa pilkada di daerah-daerah praktiknya jauh dari kata sehat. Sebelum ke pilkada hijau mungkihkah terjadi ada baiknya kita liat lebih dahul bagaimana praktik kerusakan lingkungan yang terjadi selama ini.Â
Lingkungan hidup telah di kebiriÂ
Data sejak 2011 lalu menembus angka yang mencengangkan tentang kerusakaan lingkungan. Kabar dukanya pada tahun 2011 saja lapora instansi terkaut sebut saja kementrian kelautan pada masa itu merilis laporan sekitar puluhan pulau yang sudah tenggelam akibat praktik pertambangan.Â
Secara keselurusan di tahun 2011 ada 50 pulau kecil sudah tenggelam dan terancam tenggelam. Untuk tahun 2023 silam bisa diprediksi ada berapa pulau kecil yang hancur atau setidaknya mengalami kerusakan parah.Â
Ini menunjukan aktivitas tambang di daerah-daerah sudah jadi masalah serius. Ya, fenomena ini jadi pertimbangan diadakan pilkada hijau. Tapi naasnya sudah dikebiri sedemikian rupa lingkungannya.
Masih kah ada harapan?
Awalnya saya ingin menyampaikan pandangan tentang tidak adanya harapan. Namun kacamata yang saya gunakan hanya sebagai penulis amatiran. Maka harapan itu coba kita hidupkan.Â
Bahwasanya harapan selalu ada, lingkungan hidup atau hunian besar yang kita sebut rumah Indonesia ini. Izinkan saya menawarkan gagasan tentang Rumah Ramah Indonesia (RRI).Â
Sederhananya gagasan ini mangajak dan membuka mata kita semua untuk menjadi Indonesia sebagai rumah yang ramah. Kali ini ramah pada lingkungan hidup tempat kita berpijak bersama.Â
Untuk labih lanjut maka gagasan ini bukan untuk pilkada hijau saja tapi mengajak mereka yang sudah memiliki kearifan lokal tentang bagaimana menjaga lingkungan. Kita bahas lebih lanjut pada urain sederhana berikutnya.Â
Masayarakat adat sudah memiliki "kurikulum" lengkap menjaga lingkungan hidup
Laporan pusat studi lingkungan hidup universitas Gadjah Mada memaparkan sekitar 80% keanekaragaman hayati berhasil dijaga oleh hutan-hutan masyarakat adat kita pada hutan yang tersisa. Laporan ini menghimpun seluruh masyarakat adat di Indonesia.Â
Dari data yang ada ini kita sudah memiliki mentor lingkungan hidup dan gak perlu jauh-jauh mencari. Masyarakat adat adalah guru kita semua untuk menjaga lingkungan.Â
Masyarakat ada telah memiliki kurikulum lengkap untuk menjaga lingkungan hidup mereka. Saya besar dan tumbuh di Kalimantan Utara di pelosok berbatasan langsung dengan Brunei Darussalam dan Malaysia. Berdampingan hidup dengan masayarakat adat dayak, memiliki ayah angkat dan masih menjadi petinggi adat dayak di desa Salang tepatnya kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.Â
Pak. Yahya panggilan akrab ayah angkat saya satu ini. Beliau selalu berujar untuk tanaman liar, masyarakat kami (orang dayak sekitar) masih banyak yang memiliki keterampilan baik menanam dan merawatnya.Â
Harapan untuk masyarakat adat dan kepedulian pemerintahan daerah
Bagaimana pun kepedulian pemerintah daerah tentu menjadi angin segar bagi masyarakat adat jika perhatian pada lingkungan hijau ini ingin digalakan sedemikian rupa. Tulisan ini tidak anti pada percepatan ekonomi melalui aktivitas tambang atau apapun itu.Â
Regulasi yang sehat hingga pengaturan cadangan pengelolaannya pasti banyak pakar bisa dijadikan rujukan sebelum ekspolitasi itu membabi buta. Yang terpenting kolaborasi bersama masyarakat adat dan menjadikan mereka guru dalam menjaga lingkungan khususnya keanekaragaman hayati di hutan-hutan kita jadi pertimbangan menarik untuk dilakukan.Â
Salam lingkungan Â
Albar Rahman, Samarinda 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H