*"Sastra dan Jurnalistik", tulisan highlight di laman SISIPAGI terbit pada 25 Sepetember 2024.Â
Sastra dan jurnalistik, menilik dan menelaah definisi sasatra yang sifatnya fiksi dan kadang data tak perlu diolah sedemikian rupa. Sedang jurnlistik syarat akan data kemudian diolah jadi pemberitian relevan lagi aktual.
Ragkaian kalimat di atas terlalu serius dan kaku. Mari kita bahas dengan cara "ngopi" santai dan tidak perlu mengikuti kaidah baku yang ada. Anggap saja ini clotehan seorang kawan yang lagi asyik ngopi sambil mendiskusikan banyak hal.
Sastra kopinya sedang jurnalistik gulanya
Kali ini dengan menjadikan sasatra sebagai kopi dan dunia jurnalistik adalah gulanya. Hanyalah sebuah usaha untuk mengawinkan keduanya.
Teman-teman bisa saja berbeda pendapat, atau memiliki pandangan yang berbeda. Saya hanya memaparkan pandangan berbeda dan membangun tesis baru.
Kenapa analoginya kopi dan campurannya gula, ini karena kebutahan pasar saja dimana masyarakat kita memiliki kebiasaan ngopi ya pakai gula. Padahal, saya melihat kopi yang sehat ya tanpa gula.
Nah, agar sastra tidak mengalami sakit, terpuruk, sepi peminat. Saya menawarkan dunia jurnalistik jadi gula pemanis untuk merangsang pembacanya lagi.
Pram dan Hamka: Sastrawan rasa Jurnalis
Diantara banyak sastrwan kenamaan negri ini dari mas ke mas hingga kini. Ada dua sastrawan yang sangat saya kagumi. Hamka dengan novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijk dan Pram melalui Bumi Manusia.
Membaca dua karya sastra dengan dua penulis yang produktif di masanya ini. Serasa membaca novel yang muatan jurnalistiknya juga kuat. Fakta sejarah dipaparkan dengan aktual lagi relevan.
Pram berhasil menampilkan fakta sejarah yang relevan dengan menampilak sosok Minke dan pergulatan hukum Nyai Ontosoroh yang menuntu status kewarga negeraan Anneliss Malemma yang sangat mencinta Minke dan bumi negeri ibunya walau iya seorang berketurunan Belanda alias blasteran.