Berangkat dari satu pengalaman berharga bagi diri sendiri. Setelah berbincang dengan orang terdekat.
Ada satu hal yang membuat aku tertampar karena merasa masih belum memiliki banyak pencapain dengan segudang ketakutan. Ini tidak baik kata teman bicara tadi. Ketakutan itu kadang membuat kita lupa memiliki iman  lupa jika kita Bertuhan bahkan. Singkatnya lupa bersyukur akan potensi sekitar yang besar.
Duh tamparan keras itu membuat pagi ini mencoba menata mental optimis lagi. Mengurai tentang mental dan semoga memberi wacana dan wawasan baru.Â
Kita mulai diskusi ringan tentang kemiskinan yang melanda negeri. Namun disisi lain kita juga punya kekayaan luar biasa besarnya. Alam kita adalah sebongkah surga yang membuat penjajah betah beratus tahun "memperkosanya".Â
Sebuah informasi mencengangkan bahwa Belanda hingga hari ini adalah pemegang arsip paling lengkap tentang tambang Indonesia. Kita hanya bisa mengcopy dan dilarang mengambil arsip aslinya. Karena dalam perjanjian Konvensi Wina tidak ada keharusan negara penjajah mengembalikan arsip yang ada.Â
Soal arsip saja kita kalah dan kekayaan arsip ini seharusnya tidak disepelekan. Ini jadi catatan sendiri bagi para pemangku kebijakan demi merawat kekayaan kita bersama.Â
Singkat saja, tentu kita semua menyadari bahwa angka kemiskinan di Indonesia begitu tinggi. Tak perlu kita berpatokan pada kenaikan pendapatan negara yang hitung-hitungannya jelimet. Tulisan ini mengajak pembaca semua untuk lebih dekat melihat realitas.Â
Data menunjukan hampir 30 juta penduduk Indonesia tercatat masih dibawah garis kemiskinan. Ini yang mampu dicatat dalam data dan laporan tertulis. Dugaan kuat saya angka kemiskinan kita lebih, melihat banyak pengangguran dan sulitnya lapangan pekerjaan.Â
Ya tentu saja kemiskinan adalah realitas. Dan sangat nyata bahkan merajalela di negeri yang hampir semua penduduk dunia mengakui kekayaan alam yang dimiliki negeri kita tercinta ini.Â
Lalu bagaimana bisa kemiskinan masih merajalela? Jawaban sederhananya karena 2 hal. Pertama, kita masih terjajah oleh diri sendiri semisal korupsi yang kian tahun makin saja terjadi di elit tertinggi hingga menular ke birokrasi terkecil sekalipun. Kedua, karena mental kita sendiri. Karakter untuk merdeka dan jadi manusia merdeka belum terpatri dalam diri.Â