Mohon tunggu...
Albar Rahman
Albar Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Editor, Writer and Founder of sisipagi.com

Sehari-hari menghabiskan waktu dengan buku-buku ditemani kopi seduhan sendiri. Menikmati akhir pekan dengan liga inggris, mengamati cineas dengan filem yang dikaryakan. Hal lainnya mencintai dunia sastra, filsafat dan beragam topik menarik dari politik hingga ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bolak Balik Arus Rasa, "Kisah Sastra yang Mati?" (1)

24 April 2023   12:53 Diperbarui: 25 April 2023   05:29 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pixabay.com taman hijau hati de voh

Kala duduk termenung di sudut perpustakaan sore itu. Seusai kegiatan sore sastra yang diselanggarakan di kampus kami. 

Aku termenung bersama lamunan mendung langit sore itu dimana mega merahnya mulai mendekati. Dari kejauhanpun tampak terbenam sang mentari. 

Lesuh wajahku sembari memutari pena dengan melemparinya sesekali mengudara. Ikut meramaikan sebuah selenggara sastra itu tidaklah lelah tapi lelah ini datang dari muara perenungan panjang akan sesuatu yang mengganggu benak pikiran ini. 

"mas.. mas.. mas.." Doar terkaget aku dan terperanjat. Sedari tadi ada sosok wanita berparas manis tiba dihadapan seketika, senyum dan menyapa. 

Si gadis manis itu menyapa lagi, "mas tidak apa-apa?" Spontan aku meresponnya "ohhh tidak apa-apa". 

Dia duduk hitungan waktu dan beberapa menit saja. Dia memperkenalkan diri sebagai anak komunikasi lalu memberi apresiasi pada penyelenggaraan sore sastra yang baru saja usai. 

Semakin sore kami berbincang begitu cairnya semakin asyik membicarakan dunia sastra. Namun ada satu pertanyaan dari gadis itu yang membuat aku kaget kembali kedua kalinya setelah peristiwa disapa kala sedang termenung. 

Setelah apresiasi tinggi diberikannya pada acara sastra yang baru saja usai, gadis itu kemudian berujar dengan bahasa inggris yang faseh kira-kira terjemahannya demikian "aku berpikir bahwa di masa depan sastra akan mati, manusia saat ini pelan-pelan tidak hanya dibentuk "berhati" robot tapi juga bertopeng palsu yang di sana tidak menyimpan rasa lagi.. " 

Panjang urainnya, setelah selesai celotehannya aku balas dengan bahasa inggris seadanya dan aku mencoba membantah pandangannya walau bantahanku terkesan naif. Aku katakan bahwa sastra itu bukan lagi hobi pada akhirnya dia akan menjadi kebutuhan, aku meyakini sastra akan terus bekerja membangunkan lagi emapaty yang sudah lama tertidur bahkan dia membukakan topeng kepalsuan yang tadi saudari jelaskan. 

Tidak ada kata sepakat dalam perbincangan sore itu. Ketika bahasa Inggrisku mulai terbata-bata dia tertawa dan aku juga ikut tertawa. Kami hanya sepakat tertawa pada sore itu. 

bersambung...  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun