Ada mahasiswa yang hanya makan sekali. Mungkin sebagian dananya harus teralokasi membeli buku. Baik penunjang belajar, atau memang ia haus akan beragam ilmu.Â
Teringat masa-masa kuliah beberapa tahun belakangan. Saya sanggup menaruh hutang di burjo warung makan dan makan sekali saja sehari. Sisanya berselancar mencari buku-buku bareng kawan, di sudut trotoar jalan kami menghisap rokok sisa batangan berdua saat lelah. Apresiasi lelah seadanya
Kenangan ini sebut saja sedih. Mengundang empaty harusnya. Walau saya merasa ini syahdu dan kenangan berharga.Â
Bisa jadi ada mahasiswa yang lebih parah. Tak makan karena memang tak ada uang sama sekali.Â
Nah sejatinya puasa adalah "rahim" untuk melahirkan "bayi" kepekaan. Semoga kepekaan kita pada momen bulan ini semakin mendewasa. Semakin peka di tingkat "dewa".Â
Sekali lagi, puasa itu untuk semua!Â
Kepekaan tumbuh tidak hanya untuk sesama agama, sesama ras, atau suku dan satu kelompok. Puasa mengajarkan bahwa lapar itu bisa melanda siapa saja.Â
Menjaga esensi puasa seperti ini mengantarkan kita semua lahir sebagai anak bangsa yang berjiwa empaty besar lagi kuat.Â
Menghidupakan kepekaan begitu nyata di akhir puasa misal. Â Menjelang lebaran kita harus zakat.Â
Zakat jangan samakan dengan bayar pajak. Ia bentuk tindakan sosial tanpa sebuah kewenangan negara. Zakat di bulan puasa adalah tindakan mulia.Â
Hamka dalam bukunya "Dari Lembah Cita-Cita" mengatakan, zakat adalah bukti persatuan masyarakat dan budi negara yang tidak ada taranya.Â
Puasa yang bermuara pada zakat adalah budi negara yang tinggi. Saatnya kesadaran agung ini kita talurkan untuk semua. Sejatinya memang rahamat bagi sesama.Â