Aku terbangun, dari riuh pelupuk mata. Memejam, membuka, lalu entah kemana?
Lalah letih bahkan kian ringkih, mencari-cari. Tapi untuk apa?
Bingung untuk dan demi apa. Aku pun berlabuh ke prahahara romansa. Lagi dan lagi tentang cinta, anatara harapan dan hati yang harus patah.
Cinta berbingkai asamara selalu saja bertutur indah, tapi misteri kepergianya selalu membayangi. Entah pergi karena riuh geloranya telah mati, atau karena kematian itu sendiri!
Garis takdir, garis kelana antara pasrah dan doa di bibir yang basah. Terkejut-mengetuk-terpikat lalu tak mengerti semua ini kejadian apa.
Cinta dan misteri seolah berjodoh. Pencarian seolah-olah pencarian paling alpha akan nyata. Seolah penantian panjang berbuah khayal demi khayal.
Rekat-pilu-pahit tertelan dijamu asmara paling pilu lagi pahit yang selau menjajikan rayu diaduk oleh glukosa berbahan alami capuran kurma dan madu, katanya. Padahal? Racun!
Adakah pujangga yang berani mengutuk asmara? Seolah semua pujangga adalah pemabuk asmara cinta.
Ini berbahaya. Karena pujangga yang menggores tinta disedang mabuk asmara. Berbahaya dan membunuh!
Sang pujangga itu sedang meramu racun berbahan ekpektasi. Semua akan sakau dalam khayal mematikan digaris cinta yang hanya singgah pada ilusi.
Pujangga ini, mencipta ramuan paling bahaya, bahkan lebih berbahaya dari ganja yang tumbuh subur lagi alami dibumi pertiwi saban saat dibakar oleh aparat karena dugaan atau klaim fakta akan bahayanya.
Itulah kenapa aku kagum pada kisah Zainudin dalam novel "Tenggelamnya Kapal Van Derwijk". Kisah romansa jadul ini menampilkan pujangga yang menelan pahitnya romansa, sebagai realitas hidup tapi dihembuskannya terus dengan nafas karya. Ia pun melegenda!
Demikianlah garis embara cinta, kepergian dan misterinya.
Salam,
Albar, 16 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H