Serangan agresi milter Belanda ke sekian kalinya datang melanda negri kita tercinta. Sebuah catatan sejarah 1949.
Jogja kala itu dikepung, tugu, kraton, kota baru dan semua lorong kota mungil ini jadi saksi bisu sejarah. Saksi betapa kesjarahan pertahanan kita sedang diserang dan harus balik menyerang.
Saat ngobrol bersama bapak kos ditahun awal mendaftar kuliah di Jogja. Beliau adalah mantan pejuang di tahun kisaran tahun 1949.
Beliau sangat seppuh dan beberapa tahun lalu berpulang kehariban Ilahi. Semoga segala amal beliau dalam jejak pembelaannya terhadap tanah air dicatat sebaga amal penentu diterimanya beliau di sisi Allah SWT.
Beliau bercerita, bertutur penuh gairah. Mengambarkan betapa lapangan Maguwoharjo kala itu mencekam. Langit kelam, bercampur kepulan asap. Baling-baling serdadu mengitari langit Jogja.
Hampir sejam lamanya mendengarkan penuturan syahdu sekaligus mencekam itu. Beliau teteskan air mata, betapa membela tanah air adalah pengalaman berharga.
Sekelimut cuplikan momen saya dengan beliau. Menggentarkan hati, bahwa pejuang dan pertahanan kita layak untuk dicatat rapi dalam kesejarahan. Sebuah refleksi bahwa pertahanan kita dalam sejarah adalah tembok-tembok keikhlasan hati dari para pejuang, yang mungkin terlupa atau memang tidak sengaja dilupakan.
Mereka para pejuang sudah ikhlas pasti. Mau dikenang atau tidak, biarlah! Asal bangsa dan negaranya hari ini kian utuh.
Mereka para prajurit kala itu taat pada panglima besar mereka. Kala serangan datang Sang Jendral Soedirman melarang adanya sedikitpun penghianatan.
Baca juga: Museum dan Merawat Memori Bangsa> Sang Jendral berujar, "Jangan sekali-kali diantara kita, ada yang menyalahi janji (mempertahankan keaulatan Republik) menjadi penghianat nusa, bangsa dan agama"
Jendral Soedirman tak lupa membawa agama sebagai pamungkas ajakannya untuk menjaga keutuhan negara bersanding dengan kata nusa-bangsa. Aspek kemanusiaan yang begitu tinggi akan cinta tanah air.
Kata-kata sang Jendral ini jangan disepelekan. Tulisan sederhana ini tidak akan mengulik serangan 1 Maret lebih detail.
Melainkan ini hanyalah refleksi kesejarahan. Tentang pertahanan negri tercinta. Melalui kata-kata sang jendral. Mari kita urai Perlahan!
Tentang membela dengan segenap jiwa untuk nusa-bangsa-agama. Bersandinglah tiga padanan kata itu. Dipilih oleh Sang Jendral besar Rapublik ini.
Nusa menggambarkan segempal tanah air tercinta walau harus berdarah tetaplah dipertahankan.
Sedang Bangsa tentang satu rasa, bahasa cinta, tanpa membedakan suku-suku bahasa berbeda melainkan satunya nasib keterjajahan dan ikatan persaudaran dalam perbedaan berabad lamanya terjalin.
Dan agama. Maka tafsiri saja dalam hati masing-masing. Betapa ia adalah spirit jiwa penguat raga tak tertandingi. Diilhami kekuatan dari Ilahi penguasa dan Maha Kuasa serta Esa alias satu dalam ucap Tauhid.
Inilah terma atau pilihan kata sang Jendral. 3 kata tapi tidak sepele dan sederhana.
Kata-kata ini harusnya jadi refleksi. Tentang kesejarahan pertahan negri ini.
Dulu kita dijajah oleh serdadu berseragam namun hari ini kita terjajah oleh kebodohan. Beranikah kita melawan segala kebodohan atas nama nusa, bangsa dan agama?
Baranikah kita mempertahakan negri ini dari keterjajahan arus media yang melukai nalar sehat dan spirit yang kian tergerus. Bahkan kian melupakan sejarah juga agama sebagai pegangan tali kendali hidup sebagai generasi pelanjut perjuangan.
Sekali lagi, ini hanya sebuah refleksi. Mempertahankan negri tercinta ini dari segala macam bentuk keterjajahan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H