Mari kita urai tentang kisah sang Bunda. Bukan romansa yang membuatnya memukau. Bukan! Sekali lagi bukan roman picisan.Â
Kisah sang bunda adalah kisah paling apik jika harus mendefinisikan cinta seluas samudra.Â
Ketika sang bunda harus pergi dari kampung halaman di masa remajanya. Terdampar dan pergi jauh ke negri orang. Ia mulai petualangan cinta klasiknya.Â
Ditemani seorang lelaki kuat yang kelak kian menemaninya hingga tua bersama. Romantisnya mereka berjuang dari nol. Benar-benar dari bawah. Salut luar biasa buat mereka.Â
Terlebih sang bunda. Ia tak hanya menemani suaminya. Ia ambil peran paling menentukan demi berubahnya nasib dari seorang yang "terbuang" jauh ke ngeri orang. Untuk hidup lebih bermartabat. Ia turut bekerja sekeras mungkin.Â
Pabrik kayu di negri itu pada tahun 1990-an geliat begitu rupa. Tenaga manusia dieksploitasi. Abad akhir di abad 21 begitulah cerita umumnya. Tenaga buruh seolah tak ada gunanya. Hingga hari ini pastinya.Â
Yang penting tenaganya. Mau legalitasnya tidak becus. Ya tenaga buruh harus dieksploitasi. Dan sang bunda kala itu sebagai buruh.Â
Bukan sekali dua kali dikejar-kejar di hutan blantara oleh kejaran aparat keamanan negri itu. Hingga tangisan dan peluh keringat ditambah engahan nafas jadi peristiwa rutin kala patroli berlangsung dari kem ke kem buruh.Â
Pahit? Jangan tanyakan pahitnya. Tak tergambarkan oleh kata pasti.Â
Terlebih kala sang bunda hamil. Dikandungnya saya di rahimnya. Ayah yang semakin bekerja keras. Bunda tetap saja bekerja seperti biasanya. Sungguh tangguh.Â
Siang membanting tulang. Ayah sembari berpuasa. Bunda tak henti di bibirnya mendoakan kandungan di badan lalu sesering mungkin berzikir guna keselamatan bayi tercintanya.Â
Singkatnya: Setelah anak di rahimnya lahir. 4 tahun kemudian lahir lagi bayi wanita. Kini dialah adik saya satu-satunya tersayang.Â
Kedua anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang butuh kasih sayang. Bunda yang kerja saban hari hingga malam.Â
Selalu menyempatkan diri melihat tumbuh kembang anaknya. Makanan bergizi pasti terupayakan. Udang segede genggamannya, ikan segar dan sayur mayur serta buah-buahan.Â
Sedang sang bunda tak jarang terlihat sembunyi-sembunyi hanya memakan nasi dan garam yang diberi kuah air putih.
Sudahlah jika diingat-ingatbsedihnya tak berujung. Miris dan hati tersayat rasanya.Â
Tidak hanya gizi perut. Pikiran anak-anaknya diisi dengan buku yang bunda tempel di setiap dinding. Dari bacaan shalat hingga huruf-huruf bahkan buku-buku bekas apa saja jadi santapan tiap hari kami khususnya saya yang mulai beranjak melek huruf.Â
Kelak sang bunda ingin melihat anaknya terdidik. Bisa jadi orang yang lebih bermartabat dan yang terpenting beguna bagi banyak orang. Tentu bagi agama nusa dan bangsa. Doa yang selalu terdengar kala kami kecil belum mengerti apapun kala itu. Â
Cinta yang ia berikan sekuat itu. Maka pada hari ibu ini. Izinkan sekelumit kisah ini aku urai perlahan.Â
Sederhana memang. Tapi ini berarti, semoga jadi harum bak setangkai bunga paling mewangi.Â
Bunda terimakasih untuk semuanya. Aku sadar hingga detik ini cintamu tak habis-habisnya. Bunda menanti-nanti anaknya sukses, tersenyum bahagia dan selalu melihat anaknya bisa berbakti pada Tuhan juga pada kedua orangtuanya.Â
Cintamu bunda membuat kami anakmu akan selalu bersumpah. Bahwa sumpah dalam hati disaksikan tinta ini. Bakti kami kian kan selamanya. Di kandung badan hingga kehidupan setelah mati jika kesempatan bakti itu masih. Kan terus kami lakukan.Â
Sekali lagi terimakasih bunda. Selamat hari ibu untuk bundaku tersayang:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H