Secangkir Kopi, Mbah Wahid dan Perjalanan Penelitian ke Jombang

Pagi hari sambil seruput secangkir kopi mengingat ulang dan bernostalgia  beberapa tahun lalu. Betapa meneliti satu tokoh ini membawa memori berharga. 

Tahun 2017 tepatnya kebiasaan menulis sudah mulai saya lakukan, diawali dengan kunjungan Perpus saban hari. Singkatnya di Gedung Moh. Hatta Perpus Pusat Universitas Islam Indonesia saya menjumpai buku-buku dan membaca perjalanan tokoh Wahid Hasyim.

Usia beliau teramat singkat diusia 39 tahun memang harus wafat akibat sebuah kecelakaan. Namun legacy yang beliau tinggalkan termat banyak untuk bangsa ini. Saya meneliti ketokohannya karena satu alasan kuat ini diantara banyak hal lainnya yang menarik. 

Baca juga: "Sehat dengan Secangkir Kopi", Menangkap Esensi Kopi Sebenarnya

Tulisan kali ini saya menyapa beliau dengan sebutan Mbah karena secara emosianal bertahun membaca dan menyelami beliau membuat saya lebih dekat, kebiasaaan membaca beliau saya ikuti, kebiasaan ngopi dan berbaur dengan banyak kawan bahkan berseberangan pemikiran. Juga terinspirasi dari gaya bergaul beliau baik di politik nasional hingga keluar. 

Sebagai pengusaha Mbah Wahid dekat dengan pengusaha Jepang. Konon beliau pernah memiliki kapal pribadi yang disumbangkan untuk kapal haji Indonesia awal-awal kemerdekaan. Dan ini lagi saya cari validasinya. 

Itu satu hal dari beliau, hal menarik lainnya secara personal juga dikenal sangat akrab dan bersahaja. Alkisah, ketika banyak tokoh NU dan Kiyai berkunjungan ke kediaman baik di Jakarta dan di Jombang beliaulah yang selalu menyediakan rokok dan korek api sedang beliau tidak merokok sama sekali. 

Bahkan beliau memiliki kebiasaan membakarkan rokok langsung ke tamu sebagai bentuk keakaraban dengan dilanjutkan kepulan asap yang syahdu. Setiap tamu menikmati obrolah hangat dengan tokoh besar satu ini. Demikian kesahajaan Mbah Wahid bergaul.

Baca juga: Wahid Hasyim, Tokoh Bangsa Terdidik dan Pendidik

Hari ini saya melakukan perjalan lagi untuk kebutuhan penelitian ketokohan beliau. Ke Jombang untuk ke dua kalinya dengan kebutuhan yang sama. Penelitian pertama 2017 dan kali ini di tahun 2022. Kenapa tidak bosan-bosan untuk tetap menliti beliau? Pertanyaan sederhana yang akan saya uraikan kelak dengan temuan-temuan baru akan beliau. 

Baca juga: Menjadi "Pendengar" Itu Mahal, Film "Ngeri-Ngeri Sedap"

Sejatinya masih banyak tokoh sejarah hebat selain Mbah Wahid. Ingin sekali misalnya meneliti kakek moyang saya Sultan Hasanuddin, karena ayah memiliki darah asal Kesultanan Gowa, Makassar. Terus ada tokoh hebat lagi dari darah Ibu yang saya panggil bunda, ada Ratu Ageng sang pendidik d Diponegoro yang banyak menanamkan falsafah bernafas islam. 

Ratu Ageng sebagai selir Sulatan Hamangkubuwono pertama itu berasal dari Bima sama dengan ibu. Jadi akan banyak lagi tokoh-tokoh hebat kedepan yang perlu diteliti. Semoga semangat menggores pena menjadi teman perjalanan setia. lalu tersaji tulisan-tulisan yang bisa dinikmati oleh kalayak ramai dan membawa nilai-nilai baik untuk jadi bekal kita bersama. Semoga. 

Kali ini segenap spirit akan saya tuangkan meneliti Mbah Wahid. Sepenuh cinta akan saya tuliskan. Sampai jumpa dipertemuan pene berikutnya. 

Salam hangat dari saya,

Albar Rahman

Yogyakarta, Stasiun Lempunyangan 

Perjalanan ke Jombang.