Mohon tunggu...
albarian risto gunarto
albarian risto gunarto Mohon Tunggu... Freelancer - saya datang saya lihat saya lalui saya tulis

bapak-bapak yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menikmati Keindahan Dieng dengan Cara Berbeda, Tanpa Mandi!

24 Oktober 2023   16:14 Diperbarui: 24 Oktober 2023   16:28 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Dinginnya Kebangetan, Membuat Kita Malas Mandi

Matahari Terbit Dari Puncak Sikunir (dok.Pri)
Matahari Terbit Dari Puncak Sikunir (dok.Pri)
Sejuk, ketika lewat tengah hari saya membuka pintu mobil untuk makan di restoran Bumi Dieng.

Diluar perkiraan saya, karena sepanjang perjalanan di dalam mobil sama sekali tidak merasakan kesejukan, karena AC mobil kami matikan untuk memperingan jalannya mobil.

Sinar matahari yang sedang bersemangat menyinari tanah para dewata ini kalah dengan hembusan ringan yang membawa kesejukan bahkan cenderung dingin.

Gapura Masuk Dieng (dok.pri)
Gapura Masuk Dieng (dok.pri)

Hari makin sore, kami tidak langsung menuju tempat-tempat wisata, tapi memilih untuk beristirahat meluruskan punggung yang sejak tujuh jam sebelumnya hanya bersandar di kursi mobil, bukan dihatimu.

Disini, di kawasan Dieng 0 Km memang banyak penginapan berupa Home Stay yang murah meriah, berkisar 200 ribu sampai 400 ribuan.

Jangan kaget jika tidak menemui kipas angin atau bahkan AC, di semua Home Stay yang ada. Tanpa AC pun anda akan cukup kebingungan untuk menyembunyikan tubuh anda dari rasa dingin

Yang ada hanya air panas dan wifi, dispenser beserta teh dan kopi. Kita bisa memanfaatkannya kapanpun kita mau.

Dieng Pusat Oleh-oleh(dok.pri)
Dieng Pusat Oleh-oleh(dok.pri)

Malam di Negeri Atas Awan

Malam hari yang bikin mengigil (dok.pri)
Malam hari yang bikin mengigil (dok.pri)
 

Saya terbangun ketika hawa dingin terasa semakin menyengat dan suara masjid sudah mengudarakan sola-sola, menandakan waktu maghrib akan datang. Cukup lama saya tertidur.

Segera reflek saya mengambil handuk yang masih tertata didalam tas. Mandi sore itu hanya sebatas wacana, karena lantai kamar mandi saja dinginnya sudah menusuk dari telapak kaki sampai ujung rambut.

Apalagi setelah mencoba untuk menyentuh air yang rasanya bisa mengkerutkan apa yang bersentuhan dengannya, menambah keyakinan saya untuk tidak  mandi.

Alhasil hanya wudhu yang yang saya lakukan, itupun setelah wudhu, badan rasanya menggigil hebat. Mental saya jatuh sejatuh-jatuhnya menghadapi serangan hawa dingin di tempat ini.

menahan dingin (dok,pri)
menahan dingin (dok,pri)

Selesai Sholat Maghrib, saya mencoba keluar berjalan-jalan di sekitar tempat ini, yang cukup ramai oleh penjual-penjual makanan. Kebanyakan yang berjualan disini bukan orang asli Dieng, para pendatang yang memanfaatkan ramainya tempat wisata perpaduan alam dan budaya.

Untuk harga saya kira masih wajar, seperti kebanyakan tempat wisata, tidak sampai menggetok. Bahkan ketika saya masuk ke dalam toko yang menjual jaket, harganya hanya berkisar 100 ribu -- 200 ribu saja, itupun sudah dapat merk import dan kualitas barangnya juga tidak main-main.

Menyusuri dieng (dok.pri)
Menyusuri dieng (dok.pri)

Anda tahu sendirilah jika harga murah, merek impor itu pasti thrift. Tidak mengapa, tidak ada yang tahu anda pakai jaket bekas impor.

Setelah mendapatkan jaket yang kami mau, walaupun dingin menerpa, kami tetap berjalan, mencari kehangatan dengan makan Bakso dan Mie Ayam. Tak terasa, kami sudah masuk wilayah Dieng Banjarnegara.

Selesai menyantap mie ayam dan bakso yang harganya wajar ini, kami meneruskan perjalanan. Cerahnya langit malam merestui kami untuk berjalan-jalan di kawasan lembah kaldera dieng ini.

Tak terasa, entah kekuatan apa yang membawa kami menuju ke kawasan Candi Arjuna. Karena malam hari kami hanya bisa melihat reruntuhan Dharmasala dari luar pagar.

Kalau malam hari dibuka, mungkin lebih epik (dok.pri)
Kalau malam hari dibuka, mungkin lebih epik (dok.pri)

Kalau malam candinya tutup. Mungkin pengelola, bisa mempertimbangkan untuk membuka kawasan candi di malam hari.

Candi, langit malam dan bintang gemintang pastinya sebuah perpaduan yang syahdu. Tapi kami harus mengurungkan itu. Kami hanya bisa berfoto-foto didepan pintu loket yang tertutup. Tidak mengapa, tidak sedikitpun membuat kami kecewa.

Tapi kemudian, perut kembali berseru berdemo minta diisi kembali. Hawa dingin dan jalan kaki yang mempercepat pembakaran karbohidrat dan protein yang terkandung dalam semangkuk mie dan bakso.

minuman hangat (dok.pri)
minuman hangat (dok.pri)

Kami menuju food court yang ada disini, untuk memuaskan para pendemo kami sengaja memesan makanan berat berupa nasi goreng. Disini banyak tersedia makanan dan minuman, karena memang food court.  Agak lama kami disini, menghabiskan malam dan menahan dingin.

Setelah puas ngobrol ngalor ngidul dan merencanakan perjalanan wisata untuk besok, kami segera kembali menuju home stay. Kami sudah tidak kuat bergumul dengan angin gunung yang membawa serta hawa dingin. Walaupun badan sudah bertameng jaket tebal, masih juga tak kuasa menahan serangan yang datang bertubi-tubi.

Dijalan kami melihat banner tukang pijat capek (bukan pijat lain) kami mencoba menghubunginya dan berhasil. Dia bersedia datang ke home stay untuk memijat. Tarifnya cukup murah seikhlasnya. Pijatan perpaduan shiatsu dan tradisional jawa dari Mas Yusuf membuat rileks otot kami yang tegang karena seharian dalam posisi statis duduk didalam mobil.

Jas Pijat (dok.pri)
Jas Pijat (dok.pri)

Selesai pijat, ternyata menimbulkan efek lain, kembali lambung bergolak minta diisi. Untuk menenangkannya kami kembali keluar menembus suhu dieng yang menurut Google pada kisaran 11 derajat. Cukup membuat kami yang tinggal didataran rendah, menggigil. Tapi tidak mengapa demi tidur yang nyenyak sekaligus karbo loading karena pada dini hari kami akan menuju Sikunir.

Menikmati Keindahan Sunrise Tanpa Banyak Tenaga

Sunrise Idaman (dok Pri)
Sunrise Idaman (dok Pri)

Sebelum tidur, saya sudah memakai pakaian yang akan saya gunakan menuju Sikunir, agar nanti ketika dini hari tidak perlu lagi membuka pakaian, karena kemungkinan pada dinihari suhu semakin dingin.

 Pada Pukul 02.30 WIB satu persatu teman-teman berkumpul untuk menuju ke Kawasan Bukit Sikunir. Hawa dingin tidak menyurutkan semangat untuk mengejar sunrise di negeri atas awan ini.

Menunggu diselimuti dingin (dok.pri)
Menunggu diselimuti dingin (dok.pri)

Tempat kami menginap ini merupakan tempat strategis, karena kemana-mana dekat. Perjalanan menuju tempat parkir kawasan wisata Sikunir pun hanya kami tempuh 15 menit dengan kendaraan bermotor.

Di parkiran yang disampingnya berdiri tenda-tenda pedagang kaki lima, sudah banyak kendaraan dari para pengunjung lainnya. Suara para pedagang yang menawarkan kaos tangan, tutup kepala, syal dan macam-macam penghangat tubuh saling bersahut-sahutan.

Hawa dingin memang tidak dapat ditepis, tidak heran memang letaknya yang berada diatas bukit. Karena sudah prepare dari awal, kami segera saja menuju pangkalan ojek, yang agak jauh dibawah.

Para tukang ojek berjaket merah itu sudah tertib antri untuk membawa pengunjung menuju kaki bukit sikunir. Ongkos ojek disini cukup murah, Hanya Rp 15.000,- sekali jalan. Tidak perlu tawar menawar, karena ini memang tarif resmi. Tidak perlu juga calo, sudah tertib tidak perlu rebutan.

Pangkalan Ojek di Bawah (dok.pri)
Pangkalan Ojek di Bawah (dok.pri)

Hanya sekitar 5 menit naik ojek kita sudah sampai di kaki bukit Sikunir. Kalaupun ingin berjalan kaki tidak mengapa, hanya menuruni bukit saja.

Setelah turun dari ojek, kita akan menyusuri gang yang dikanan kirinya merupakan kios pedagang, baik pedagang makanan maupun oleh-oleh khas dieng. Ada juga yang menyediakan kamar mandi beserta musholanya.

menunaikan kewajiban (dok.pri)
menunaikan kewajiban (dok.pri)

Kami mampir di salah satu warung yang menyediakan minuman hangat, mushola sekaligus toilet untuk menunaikan Sholat Subuh terlebih dahulu.

Kami berjalan santai menyusuri jalan menanjak selebar 1 meter yang terbuat dari beton ini. karena dinginnya udara tak terasa hidung mengeluarkan ingus encer. Karena sudah diketinggian 2000 mdpl lebih maka walaupun berjalan sebentar namun nafas sudah ngos-ngosan.

Tepat diujung lorong, jalan berganti menjadi tangga. Satu demi satu kami tapaki, dengan metode andalan 510 (5 langkah berhenti 10 detik). Tidak terlalu tinggi jalan yang harus kita lalui. Mungkin sekitar 10 lantai saja. Kita sudah ada view point pertama, disini juga sudah bisa melihat matahari terbit.

Pemandangan dari Pos 1/ Mushola (dok.pri)
Pemandangan dari Pos 1/ Mushola (dok.pri)

Teman-teman saya yang tidak kuat memilih berhenti disini. Walaupun tidak tinggi, namun cukup membuat yang tidak terbiasa mendaki akan kapok.

Letak puncak Sikunir ternyata tidak terlalu jauh, jalur selanjutnya tidak securam dari bawah. Lebih landai. Hanya 5 menit sudah sampai.

Walaupun bukan week end tapi puncak cukup ramai. Bahkan sampai meluber di puncak sebelahnya.

Para Pencari Sunrise (dok Pri)
Para Pencari Sunrise (dok Pri)

Hanya semburat jingga yang nampak dilangit ketika saya merangsek maju menuju batas untuk mendapatkan view yang lebih menarik.

Lampu-lampu terlihat masih menyala di rumah yang tampak jauh dibawah. Bayangan Gunung Sindoro tampak gagah didepan mata.

Dikejauhan tampak bayangan Gunung Merbabu dan Merapi, tampak kecil. Tak ada kabut sama sekali pagi itu sehingga pemandangan terlihat jelas sekali.

Matahari Belum terbit (dok.pri)
Matahari Belum terbit (dok.pri)

Sambil berfoto-foto saya dan teman-teman berbincang ngalor ngidul. Kadang juga berbincang dengan sesama pengunjung yang lain.

Tak berapa lama sunset sudah muncul. Sangat indah. Tak heran Sikunir menjadi jujugan untuk berwisata sunrise.

Jangan lewatkan Sikunir jika anda ada kesempatan untuk melihat sunrise di Dieng. Yang tidak seperti mendaki tapi anda sudah berada di 2.263 mdpl.

Ramai pengunjung (dok.pri)
Ramai pengunjung (dok.pri)

Ratusan foto saya ambil ketika disini, saking takjubnya dengan pemandangan indah ini.

Puas berfoto-foto ria kami segera turun, sebelum kembali keparkiran kami sempatkan dulu untuk mencicipi kentang rebus yang kami lihat ketika berangkat.

Setelah menikmati segelas kopi dan kentang rebus, kami kembali memanfaatkan ojek untuk kembali ke Parkiran utama.

kentang rebus (dok.pri)
kentang rebus (dok.pri)

Candi Arjuna, Sebuah Komplek Kadewaguruan

Candi Di Kompleks candi Arjuna (dok.pri)
Candi Di Kompleks candi Arjuna (dok.pri)

Dari sikunir kami sarapan dulu untuk mengisi perut. Semangkok soto ayam dan Tempe Mendoan cukup menenangkan jiwa yang meronta karena lapar.

Komplek Candi Arjuna tidak terlalu ramai matahari sudah sangat terik namun ketika membuka jaket tetap saja udara dingin masih kita rasakan.  

Berada disini seolah kita kembali ke masa lalu. Sambil menbak-nebak kenapa Wangsa Sanjaya membangun banyak candi di Kaldera ini. bukan hanya candi, tapi banyak Ondo Budho tersebar. Mungkinkah ini dulu kompleks kadewaguruan.

di sebuah lembah, tapi dingin (dok.pri)
di sebuah lembah, tapi dingin (dok.pri)

Banyaknya candi mengingatkan dengan gunung Penanggungan. Bedanya jika di Dieng ini Candi dibangun di lembah kaldera, tanahnya datar, candinya memiliki bentuk yang kompleks.

Sedangkan di Penanggungan tidak memiliki bentuk kompleks, hanya berupa punden berundak. Dibangun di lereng-lerengnya yang cukup curam.

atas : Candi Kendalisodo (Penanggungan), bawah: Candi di Komplek Candi Arjuna (Dieng). (dok.pri)
atas : Candi Kendalisodo (Penanggungan), bawah: Candi di Komplek Candi Arjuna (Dieng). (dok.pri)

Akhirnya, Tidak Berani Mandi Juga

Puas menikmati pemandangan kami berencana ke kawah sikidang, tapi saya memilih untuk di home stay saja. Rencananya mau mandi karena badan rasanya sudah membutuhkan kesegaran.

Tapi rencana itu kembali gagal, karena air masih menutup hatinya, masih dingin. Dan lengkaplah selama sehari semalam di Dieng, saya tidak mandi.

 

Berani tidak mandi (dok.pri)
Berani tidak mandi (dok.pri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun