Dibeberapa tempat malah dengan vulgar dipertontonkan apa yang telah diberikan seseorang, dengan dibuka amplopnya kemudian dibaca dengan pengeras suara.
Seorang teman ngopi di warung pernah bercerita, dia sampai "misuhi" kepada salah seorang undangan yang memberikan sumbangan yang sangat besar dan diluar jumlah kebiasaan. Dia melakukan itu (misuhi) Â karena ketakutannya tidak bisa mengembalikan investasi dari orang tersebut.
Dan benar saja orang tersebut beberapa bulan kemudian ganti punya hajat mantu. Otomatis teman ngopi saya ini blingsatan untuk mencari pinjaman sejumlah uang yang pernah dia terima. -- selama mendengarkan cerita ini, saya tidak tertawa karena takut dosa --
Tradisi ini sebenarnya sebuah jeratan yang mirip lingkaran setan. Yang punya hajat meng-ada-adakan dana untuk menyelenggarakan acara tentunya berhutang sana-sini. Berharap menuai hasil investasinya. Para downline-nya (yang pernah disumbang) berhutang untuk mengembalikan dana/ barang yang pernah diterimanya, minimal sama atau ditambah dividen. Untuk sumbangan berupa uang biasanya juga mengikuti laju inflasi, tentunya nilai Rp 100.000 dua puluh atau sepuluh tahun yang lalu berbeda dengan sekarang, jadi harus menyesuaikan.
Pada akhirnya, baik yang punya hajat dan undangannya sama-sama mempunyai hutang. Hal ini berpengaruh ke kehidupan selanjutnya. Beban pengeluaran bertambah untuk membayar hutang.
Akibatnya jelas, bantuan dari pemerintah yang seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar tersedot untuk kebutuhan lainnya. Alhasil angka kemiskinan kembali naik.
Namun ini tidak terjadi terus menerus, hanya bulan tertentu saja yang dianggap sebagai bulan baik melaksanakan hajatan. Pemerintah harus tetap optimis bahwa target penurunan kemiskinan akan tetap tercapai.
Kalau perlu berlakukan lagi PPKM agar tidak banyak orang yang hajatan.
Karena Tidak Ada Makan Soto Gratis.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H