Mohon tunggu...
albarian risto gunarto
albarian risto gunarto Mohon Tunggu... Freelancer - saya datang saya lihat saya lalui saya tulis

bapak-bapak yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Solusi Mahalnya Rokok Adalah Tingwe (Nglinting Dewe)

31 Januari 2023   11:12 Diperbarui: 31 Januari 2023   11:22 1437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hikmah Dibalik Mahalnya Rokok, Bisa Meracik Kretek Sendiri

Ide Baru yang kreatif bisa timbul karena "kepepet". Kreatifitas yang menjurus pada inovasi, pada dasarnya untuk mempermudah maupun mempermurah suatu barang kebutuhan yang tiba-tiba harganya menjadi tidak membumi lagi.

Proses kreatif ini saya temukan ketika mudik kekampung halaman. Sebuah kampung yang tepat berada dijantung ibukota kabupaten. Suasananya tidak pernah berubah. Masih seperti ketika saya kecil hingga remaja dan menjadi dewasa tanggung yang kemudian memutuskan merantau.  Nuansa Kekeluargaan yang masih sangat kental. Tidak pernah terkikis zaman.

Warung kopi tetap menjadi semacam Comunity Center. Tempat berkumpulnya para lelaki. Bapak dan anak lelakinya ngopi bareng adalah pemandangan lumrah di warkop tanpa wifi ini. Warung yang hanya menyediakan satu jenis kopi, yang dihidangkan dengan cangkir kecil. Menjadi jujugan jika ingin mencari tempat ngobrol.

Setelah memesan kopi saya segera menduduki tempat yang kosong dan ikut nimbrung pembicaraan. Walaupun saya telah merantau dan jarang pulang, anggapan sebagai AKAMSI tidak pernah hilang. Jadi mudah saja masuk kedalam sebuah obrolan yang mirip sidang di Senayan, banyak debat kusir.

Ada yang berbeda malam itu, ketika saya lihat banyak diantara mereka yang membawa kaleng bekas rokok, bahkan ada yang membawa toples. Ada juga yang membawa beberapa kardus rokok dengan berbagai merk. Ditaruh di meja dan isinya penuh rokok. Malam itu hanya saya yang membawa rokok pabrikan dalam kemasan kardus.

Saya sempat minder, bahkan sempat berkomentar keheranan "Wuuiih wis sugih kabeh, rokok-e kalengan, pax-pax kan" kata saya sambil menyeruput kopi yang telah datang.  Semuanya tertawa melihat keheranan saya. "Gak usah gumun, wong kene saiki dadi bos kabeh" canda seorang dari mereka.

Saya masih menerka apa yang sebenarnya terjadi di kampung yang tenggelam karena banjir besar akhir tahun 2007 ini. Karena tahu pasti warga disini sangat suka bercanda.

Kemudian seorang yang duduk disamping saya, membuka kaleng yang isinya masih terlihat penuh dan menawarkan untuk mencicipi rokoknya. Karena rokok yang saya sedot masih separuh, saya hanya mengambilnya sambil mengamati dan mengendus.

Rokok yang berpenampilan Gudang Garam Surya "wannabe" ini mempunyai aroma yang berbeda. Tidak seperti rokok surya pada umumnya yang ada dipasaran. Yang ini lebih gurih, ada wanginya dan tidak terlalu manis. Setelah saya hisap, tidak ada rasa enek seperti biasanya jika saya merokok surya tanpa dibaluri "cethe".

Barulah setelah saya menikmati rokok tersebut, seperti obrolan diwarung saling menimpali ketika bercerita. Bapak-bapak di kampung ini sekarang tidak pernah lagi membeli rokok diwarung. Mereka sekarang memilih untuk membuat rokok kretek sendiri.

Improvisasi Rasa

comunity center (dok.pri)
comunity center (dok.pri)

Adanya toko tembakau yang menyediakan berbagai macam tembakau dan berjenis-jenis rasa. Selain tembakau, toko tersebut juga menyediakan alat-alat untuk membuat rokok. Mulai dari papir (kertas pembungkus) dengan berbagai tampilan seperti merk-merk pasaran. Ada juga gabusnya, jika ingin membuat rokok filter. Dan yang paling mendukung adalah mesin pelinting sederhana yang harganya sangat murah.

Dengan tersedianya sarana dan prasarana serta adanya waktu luang, membuat mereka dengan leluasa untuk "memproduksi" rokok sesuai selera masing-masing. Berbeda dengan pabrikan yang sudah paten dan standar rasa yang monoton. Disini mereka bisa ber improvisasi rasa, misalnya tembakau rasa Surya yang cenderung manis dipadukan dengan tembakau rasa Dji Sam Soe yang gurih sehingga bisa mentralisir rasa enek yang selama ini ada di Rokok Surya 12.

Ada juga yang membuat rokok dengan rasa malboro namun lebih padat dan tanpa filter(gabus). Bisa anda bayangkan kepuasannya bisa merokok Malboro tanpa khawatir cepat habis tertiup angin. 

Bagi penyuka rasa-rasa, dapat membuat rokok dengan rasa kopi maupun mentol. Bagi yang ingin tembakau kemasan juga ada tetapi harganya lebih mahal.

Mudah Dan Murah

murah dan mudah (dok.pri)
murah dan mudah (dok.pri)

Dari tradisi lama yang dihidupkan kembali ini, memberikan pembelajaran yang sangat berharga. Ternyata ongkos produksi rokok sangat murah. Harga tembakau Eceran hanya Rp 20 ribu/100gram. Itu pun bisa juga beli 50 gram.  Harga gabus per plastik Rp 3 ribu, isinya antara 120 biji. Cengkeh Kemasan Besar Rp 4 ribu. Lem besar Rp 4 ribu. Alat linting Rp 4 ribu. Papir (Kertas) Rp 4 ribu 250 lembar.

Bahan bahan tersebut jika dibuat bisa menjadi 100-120 batang rokok. Bandingkan dengan harga rokok surya kaleng isi 50 batang yang harga bandrol/cukai lama Rp 84 ribu. Sangat jauh dan lebih murah.

Seorang bapak yang rumahnya sebelah rumah ortu mengatakan. "aku nglinting iki seminggu, iso entek 500 gram, satus sewu, sesasi entek 400 ewu. Tapi nek aq tuku rokok, sesasi iso entek 1 juta luwih, iso ngirit atusan ewu"

Selain dikonsumsi sendiri, juga saling bertukar rokok, saling berbagi rokok. Ngopi setiap malam merupakan ajang berbagi cerita oplosan tembakau  yang mereka buat, saling melengkapi kekurangan. Saya seolah melihat Haji Djamari, Nitisemito, Kho Djie Siong, Oei Wei Gwan, M. Wartono sedang ngopi bareng.

Sebuah Perlawanan

cukai rokok (dok.pri)
cukai rokok (dok.pri)

Alasan mendasar sebenarnya bukan hanya masalah membuat rokok sesuai selera namun lebih daripada itu. Ini merupakan bentuk kecil dari sebuah perlawanan terhadap harga rokok yang semakin melangit.

Secara tidak sengaja menjalankan ajaran Gandhi dengan swadesinya. Atau masih tertanam ajaran Bung Karno dengan berdikarinya. Bahkan mungkin juga terpengaruh motivasi Jack Ma yang mengatakan jika kita tidak bisa membelinya maka ciptakanlah.

Para perokok tidak pernah protes ketika harga rokok naik berpersen-persen. Mereka adalah orang-orang yang sebenarnya teraniaya. Orang-orang paling "nrimo". Tidak ada demo untuk menentang itu. Selalu ada cara untuk menyikapinya. Yang paling umum adalah dengan berpindah ke rokok yang harganya lebih murah.

Membuat rokok sendiri atau dalam istilah dulu disebut "tingwe" merupakan bentuk baru dari penyikapan harga rokok yang semakin menggila dari tahun ketahun.

Saya melalui malam itu dengan mencicipi berbagai rokok hand made buatan mereka. Untuk sementara rokok Inter yang selalu saya hisap sejak diterima bekerja akhir tahun 2000, kembali masuk kedalam saku. Saya tawarkan pun, tidak ada yang mau, padahal biasanya selalu saja ada yang meminta.

Karena sudah malam, saya pamit untuk pulang duluan. Dengan senang hati menawarkan rokok yang mereka buat. Tidak hanya 1 batang tapi puluhan yang dibungkuskan untuk saya. Alhamdulillah, 3 hari kedepan tidak perlu beli rokok.

Seperti saya, mereka adalah orang-orang yang masih setia dengan rokok konvensional terutama kretek. Yang tidak punya pikiran sama sekali untuk beralih ke vape. Bahkan untuk beralih kerokok putih pun bukan suatu pilihan. Bau wangi asap tembakau yang terbakar ditambah suara kretek-kretek adalah "roso"yang ngangeni. Ditambah dengan kopi tubruk, dan gorengan menjadikan kita yang sebenarnya kita.

Merokok kretek jika sendirian adalah sebuah meditasi. Jika beramai-ramai di warkop adalah sebuah terapi dengan metode jagongan gayeng. Rokok adalah bahasa universal. Persahabatan bisa tumbuh berawal dari rokok. Yang mengakhiri persahabatan adalah korek api.

Merokok itu sebuah "klangenan".

Sambil berjalan pulang di tengah malam saya mendendangkan sepenggal lagu Galang Rambu Anarki dengan lirik berbeda "cukai membumbung tinggi, rokok tak terbeli. tarif cukai tinggi, kami buat sendiri"

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun