Mohon tunggu...
albarian risto gunarto
albarian risto gunarto Mohon Tunggu... Freelancer - saya datang saya lihat saya lalui saya tulis

bapak-bapak yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sensasi Sunat di Tempat Legendaris: Juru Supit Bogem

18 November 2022   14:44 Diperbarui: 19 November 2022   17:05 3609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sebentar yang terasa lama (dok.pri)

Sunat di Bogem Aja, Ya...!

Hari itu menjadi hari yang tidak akan pernah dilupakan oleh si Thole. Hari dimana dia melaksanakan kewajiban bagi lelaki muslim yakni sunat alias khitan alias tetak alias supit.

Karena ini adalah moment istimewanya. Bukan hadiah tapi tempat istimewalah yang saya tawarkan. Sunat di Bogem atau Juru Supit Bogem. Kenapa istimewa, karena dulu ketika bapaknya ini sunat kepengen sunat disitu tidak kesampaian. (he he he).

Sejak dulu, tempat sunat para bangsawan keraton ini terkenal cepat dan tidak sakit. Saat itu, karena tempatnya yang jauh dari rumah tinggal saya, maka hanya orang-orang yang berpunya saja yang bisa menyunatkan anak-anaknya disini. (punya mobil maksud saya he he he)

Keinginan saya semakin kuat setelah mendengar pengalaman teman-teman mengkhitankan anak-anaknya di pinggir Jalan Raya Solo Jogja ini. Ceritanya masih sama, cepat dan tidak sakit

Ketika pertama kali saya utarakan maksud saya ini, Si Thole cuek saja, Ibunya berkomentar, "Nyapo kok adoh-adoh? Ning Jombang kan akeh?" Sedikit menolak dan menyatakan keberatannya.

Saya hanya menjawab, "Lha aku mbiyen arep sunat ning kono gak iso." Jawab saya dengan guyon.

Jawaban ini ternyata di sahut sama si Nduk, "Kalau pengen, ya ayah saja yang sunat lagi di situ." Yang membuat kami tertawa bersama.

Banyak tempat sunat maupun dokter di Kota Santri ini yang menawarkan metode baru. Konon juga tidak sakit, tidak membuat saya bergeming.

Proposal sunat akhirnya disetujui oleh Thole dan ibunya. Rencana awal memang saat liburan setelah akhir semester nanti.

Tetapi tiba-tiba dipercepat, karena si Thole yang sekolah di SDIT yang menggunakan kurikulum merdeka ini, teman-temannya yang laki-laki sudah sunat semua.

Saya sempat mengurungkan niat untuk sunat di Bogem karena mendadak. Tapi ibunya yang setelah browsing dan melihat langsung sunatan massal, jadi lebih antusias ke Bogem. Tetap memberi semangat agar rencana awal jalan terus.

Mencari Koneksi

Saya menghubungi nomor telepon hasil searching google dengan kata kunci "juru supit bogem".

Percobaan pertama diterima oleh seorang perempuan, namun diminta untuk telepon lagi besok, karena ketika saya hubungi pas Hari Jumat, yang juga merupakan hari libur tempat ini.

Keesokan harinya saya mencoba telepon lagi dan diterima oleh seorang laki-laki yang merupakan petugas aslinya.

Pertama kali yang ditanyakan adalah putranya gemuk atau tidak? Saya tidak tahu kenapa menanyakan hal itu, mungkin anak gemuk butuh treatmen khusus.

Setelah menjawab bahwa anak saya tidak gemuk barulah mas petugas tadi menanyakan nama anak, umur, alergi obat atau tidak, nama, dan alamat orang tua.

Kemudian setelah itu menjelaskan harus membawa beberapa barang yakni sarung, celana kolor longgar, celana sunat dan kain mori (kain putih polos) seperempat meter.

Selanjutnya juga bahwa nanti saat hari H sang putra yang akan disunat harus sudah sarapan dan kondisi fit. Harus tetap prokes dan pengantar jangan banyak-banyak.  Dan yang terakhir menyampaikan harap datang sebelum jam 8 pagi. (Juru supit bogem ini, 2 kali praktek yakni pagi Jam 07.00-09.00 WIB dan Sore Jam 15.00-17.00 WIB, Jumat Libur)

Acara khitanan ini saya samarkan dan rahasiakan dari tetangga, teman saya dan teman sekolahnya Thole. Hanya keluarga dekat saja yang mengetahui perihal acara ini. Saya dan istri tidak mau rame-rame. Sejak awal memang tidak akan mengadakan acara sunatan.

Sehari sebelum Hari H kami bertolak dari Kota Remo. Hujan mengiringi perjalanan senyap ke barat ini mulai berangkat dari rumah hingga sampai di penginapan.

Sebelum sampai di tempat menginap untuk mengisi perut, kami tidak sengaja menemukan hidden gem, Bakmi Jowo Mbah Pujo (ceritanya klik disini).

Malam itu Thole tidak bisa cepat tidur, gelisah bagaimana menghadapi besok. Sempat saya goda, "Piye jadi gak?"

Dia menjawab mantap, "Ya jadilah, Yah".

Sebagai satu-satunya anak yang belum sunat di kelasnya, menambah keyakinan untuk tetap melanjutkan hajatnya.

Hari H

Teras kantor (dok.pri)
Teras kantor (dok.pri)

Setelah sarapan kami berangkat menuju kediaman Juru Supit Bogem. Saat kami datang, kakeknya sudah menunggu rumah juru supit ini. Bagi yang kesulitan untuk mencari bawaan yang diminta oleh petugas, di sini ada toko yang menyediakan, jadi tidak usah khawatir.

Untuk parkir mobil tersedia sangat luas. Rumah juru supit yang terletak sebelum Prambanan ( jika dari arah Jogja terletak di kiri jalan) seperti satu komplek yang dipisahkan oleh gang. Yang sebelah barat adalah tempat parkir, kemudian rumah jawa lengkap beserta pendoponya yang cukup luas.

Tempat penyupitan terletak di timur gang, Rumah besar dengan 2 Wuwung, berbentuk limasan. Terasnya memanjang ke timur dengan bangku kayu panjang untuk para pengantar. Rumah ditimur gang ini merupakan tempat praktek khitan.

tempat parkir/ Rumah Barat (dok.pri)
tempat parkir/ Rumah Barat (dok.pri)

Setelah memarkir kendaraan, kami segera menuju ruang tunggu untuk daftar ulang sekaligus membayar biaya sebesar Rp750.000. Sudah ada 2 orang khitaner (dari Boyolali dan Mantingan (Ngawi) berada di ruang tunggu yang bernuansa Jawa itu.

Suara gamelan mengalun syahdu di ruang tunggu dengan interior tradisional Jawa, menenangkan. Teh dan air putih sudah terhidang dalam gelas dengan tutup yang berhias ukiran indah dan bertuliskan "Bogem".

Sambil menunggu, si Thole saya suruh minum teh. "Minumen tehnya, itu sudah didoain". Dan dia pun manut walaupun dengan setengah tidak percaya. Wajah tegangnya berangsur melunak setelah minum teh tersebut.

disediakan di setiap meja (dok.pri)
disediakan di setiap meja (dok.pri)

Tidak berapa lama, disuruh segera ganti celana dengan sarung diruang ganti yang telah dipersiapkan. Petugas kemudian memanggil anak-anak untuk duduk mengantri menuju ruang khitan. Sendirian tanpa ada pendamping, hanya ada khitaner dan para petugas.

Karena orang tua dilarang mendampingi selama proses sunat. Untuk meredakan ketegangan, saya menuju keteras untuk sekedar menghisap tembakau hasil produksi pabrik di Kediri.

Belum habis sebatang, petugas memanggil para orang tua yang akan merawat putranya pasca di tetak. Kami kemudian dikumpulkan diruangan yang terdapat kursi dan dipan kayu dengan seprei berwarna putih yang berderet-deret mirip barak. Untuk menerima penjelasan cara perawatan dirumah.

Seorang petugas yang berbaju putih dan bercelana hitam dengan lancar menjelaskan. Mulai dari metode khitan yang ternyata memakai cara tradisional, digunting dan dijahit, kapan perban dilepas dan cara melepaskannya, pantangan jangan sampai perban kena air, pantangan makanan (soda dan sate) dan obat yang harus dikonsumsi. Saking jelasnya, kami bertiga tidak ada pertanyaan yang perlu ditanyakan.

sebentar yang terasa lama (dok.pri)
sebentar yang terasa lama (dok.pri)

Selesai menjelaskan, kami diajak menengok putra-putra kami yang ada diruangan sebelah, yang isinya sama dengan ruangan kami tadi.(saya mengira kami disuruh menunggu dan anak-anak akan diantar kesitu).

Ternyata ruangan ada dua, mungkin tempat kami tadi adalah ruangan tambahan jika peserta khitan banyak. Daya tampungnya bisa lebih dari 20 orang. (Kami datang ketika tidak peak time musim sunat, jadi tergolong sangat sepi).

Ketika memasuki ruangan mereka sudah selesai dikhitan dengan masih menggunakan sarung. Setelah itu masing-masing anak disuruh berdiri dan dilepas sarung dan cawat/popoknya untuk diganti dengan celana sunat dan bercelana kolor pendek. (Kain mori yang diminta mungkin sebagai pengganti cawat tersebut)

Dengan ramah, petugas yang membantu anak kami mengucapkan, "Matursuwun sudah mau rawuh ditempat kami, jauh-jauh dari Jombang". Saya juga membalas ucapan beliau, "Sami-sami, kulo ugi matursuwun kang putro sampun dirawat dengan baik".

Si Thole ternyata masih shock dan menahan perih jadi belum bisa bercerita banyak sekeluarnya dari rumah supit tersebut. Walaupun Ibu dan Mbaknya dengan keponya mencecar pertanyaan proses di ruang khitan.

Di mobil, setelah minum dan merasa tenang, barulah dia bercerita. "Aku tadi disuruh baca surat pendek, setelah itu disemprot trus habis itu rasanya sakit sekali (proses pemotongan), trus aku kerasa kayak benang ditarik (proses menjahit), trus di perban, trus disuruh istirahat".

 "Kamu nangis gak?" tanya mbaknya.

 "Nangis sebentar, trus sama bapaknya dibilangin, jangan nangis, kalau nangis nanti sunat dua kali lho ya, ya aku diam, gak nangis lagi," jawab Thole sambil malu-malu.

Mbaknya langsung mengolok. "Opo wi arek lanang kok nangis," sambil mengejek.

"Kamu termasuk kuat le, ayah dulu gak sempat nangis, tapi langsung pingsan," timpal saya untuk membesarkan hatinya. (Ini real story, karena dulu saya ketika sunat memang pingsan, setelah mendengar suara "ceplet", bangun sudah diperban dan tiduran.. ha ha ha)

"Bun, pokoknya aku gak mau sunat lagi, ini terakhir pokoke," katanya manja kepada bundanya. Kata-kata yang membuat kami tertawa terbahak-terbahak sepanjang perjalanan ke pintu tol trans jawa untuk kembali ke timur.

Kekhawatiran saya si Thole bakal rewel dan sambat sakit, setelah obat pereda nyeri hilang efeknya, tidak terbukti. Dia masih enjoy saja, dan sangat percaya tidak sakitnya karena minum teh yang didoain tadi (padahal saya hanya berspekulasi kalau tehnya sudah didoain he he he).

Masa Perawatan

penjelasan dari pakarnya (dok.pri)
penjelasan dari pakarnya (dok.pri)

Sampai di rumah juga tetap enjoy saja. Hanya pipisnya yang agak susah karena masih diperban dan talinya lumayan kencang. Harus berhati-hati juga karena diwanti-wanti kalau perban tidak boleh terkena air sebelum 36 jam.

Yang mendebarkan tentunya melepas perban pertama kalinya, dimana anak harus berendam agar perban lepas sendiri. Untungnya ini bisa berjalan dengan lancar walaupun si Thole teriak-teriak karena perih. Lucu, gemes, kesel jadi satu menghadapi anak ragil yang manja ini.

Setelah terlepas kelihatan bentuk barunya, luka bekas potongan masih belum mengering dengan tambahan hiasan bekas kulit yang dilipat kemudian dijahit.

Hasilnya memang beda dengan yang lain. Masih ada benang sisa jahitan yang tidak boleh ditarik karena bisa menimbulkan rasa sakit dan pendarahan. Tinggal memotong yang kepanjangan, selanjutnya nanti akan jadi daging.

Semuanya sudah terlewati, saya terharu bisa menyunatkan Si Thole di tempat yang istimewa.

tempat istimewa itu (dok pri)
tempat istimewa itu (dok pri)

Cerita tentang cepat dan tidak sakitnya sunat ditempat ini memang terbukti. Hanya sekitar 20 menit didalam ruangan dan ditangani oleh 3 orang. Kewajiban Thole sebagai lelaki sudah terlaksana dengan aman, lancar, selamat dan mempunyai bentuk baru.

Ganti mbaknya yang super kepo ini berkomentar "oalah perjalanan jauh-jauh ternyata cuma 20 menit". Saya tersenyum, dalam hati berkata, nduk kamu tidak tahu bagaimana rasanya sunat, baik pra, saat dan pasca sunat.

Inilah satu-satunya yang membuat kapok para laki-laki, tidak mau mengulanginya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun