"Dek Syifa rewel mboten bu?" tanya saya sambil melihat gadis kecil itu yang tampak malu-malu. "lhamdulillah mboten, larene nek maem nopo teng kamar mandi nggih saget ngomong teng kulo"jawabnya mulai terisak.
"Sak niki njennegan mbetahaken nopo malih bu?, nopo butuh modal?"tanya saya lagi, karena masih merasa ada yang kurang. "Menawi kebutuhan kulo pun cekap, wong namung kulo kalihan Syifa, vitamin nopo susu nggih sampun kathah, kadang kulo nggih kepikiran timbang teng ngriki luwih diparingaken liyane ingkang mbetahaken" jawabnya bijak, karena sudah tercukupi semua dari bantuan yang diberikan kepadanya.
"Kulo namung pengen Syifa niki saget mlampah terus saged sekolah kados lare-lare liyane niku" jawabnya lirih  penuh pengharapan.
Jawabannya kali ini membuat saya tercekat dan terdiam. Hanya memandang gadis kecil  yang sedang bercanda dengan fisioterapisnya. Inilah yang kurang, sebuah impian yang belum bisa diwujudkan. Kali ini negara belum hadir.
Sejauh ini gadis yang selalu ditemani oleh kevin nino (seekor ayam peliharaannya) belum mengenyam Pendidikan sama sekali, walaupun UUD 1945 pasca amandemen mengamanatkan 'Setiap warga negara berhak mendapatkan Pendidikan"dan "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya".
Inilah yang menjadi PR bagi para stake holder untuk memberikan pendidikan kepada seluruh warga terutama para penyandang disabilitas yang kebanyakan belum tersentuh pendidikan.
 Untuk Syifa memang agak sulit tapi bukan berarti tidak bisa. Pendidikan SLB terdekat dari rumah Syifa lumayan jauh karena berbeda kecamatan. Harus dibonceng motor, melihat kondisi sekarang akan kesulitan jika Bu Suryati membonceng Syifa sendirian. Paling tidak, harus ada volunteer yang mau antar jemput setiap hari.
Ada satu lagi yakni Pendidikan Inklusi, yang mencampur siswa ABK dan non ABK. Namun tidak bisa dipungkiri, dibutuhkan sebuah kebijakan yang untuk merubah sebuah Sekolah Biasa menjadi Sekolah Inklusi. Jika ini berhasil mungkin anak-anak seperti Syifa bisa mendapatkan hak dan melaksanakan kewajibannya. Maka Indonesia sebagai Welfare State betul-betul paripurna.
Semoga Syifa dan anak-anak seperti Syifa yang belum tersentuh pendidikan bisa segera mendapatkan pendidikan, walaupun pendidikan yang akan diperoleh mungkin belum bisa mengantarkannya menggapai cita-cita.
Kadang bersyukur saja tanpa bertindak sesuai kemampuan dan kapasitas yang kita miliki, hanyalah sekedar sebuah egoisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H