Mohon tunggu...
albarian risto gunarto
albarian risto gunarto Mohon Tunggu... Freelancer - saya datang saya lihat saya lalui saya tulis

bapak-bapak yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berbincang dengan Pengamen Berpenghasilan 100 Ribu Rupiah per Hari

27 Juni 2022   11:53 Diperbarui: 27 Juni 2022   17:20 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mas Klien sedang menunggu dijemput keluarga (dok.pri)

Siang itu kami kedatangan tamu dari Liponsos Kota Surabaya. Liponsos adalah semacam tempat karantina atau rumah singgah bagi para Gepeng yang tertangkap razia di Kota Pahlawan.

Mereka mengantarkan warga Jombang yang selesai menjalani masa karantina. Ada 2 orang yang kebetulan tertangkap razia. Seorang perempuan yang ODGJ dan seorang lagi laki-laki yang pengamen.

Si perempuan langsung dijemput keluarganya. Sedangkan yang laki-laki harus menunggu beberapa saat di kantor kami.

"Klien kabuuuuurr!!!" teriak seorang staf yang mengingatkan pada sosok Ivan Gunawan baik cara teriaknya maupun gestur. Inilah yang menjadi pangkal histeria massal.

Kami yang sedang bersiap salat Jumat terkaget-kaget mendengar teriakan heboh bercampur aneh tersebut.

Sontak semua berlari ke depan dan beberapa orang mengejar sang klien tersebut. Untungnya belum terlalu jauh. Dan sang klien berhasil dibujuk dibawa kembali ke kantor.

Obrolan Tanpa Kopi

Sehabis salat Jumat saya pun iseng menanyai klien tersebut. Sembari saya sodorkan sebungkus rokok inter--yang isinya tinggal 2 batang.

Diplomasi rokok ini cukup berhasil mencairkan suasana. Memberikan rokok terakhir bagi orang lain, bagi para perokok, ini merupakan penghargaan yang sangat spesial karena berarti si pemilik rokok mempunyai keikhlasan yang sangat luar biasa.

Obrolan saya buka dengan menanyakan benjolan di wajahnya yang mirip bekas pukulan.

Seperti teman lama yang baru ketemu, obrolan terus mengalir seiring hembusan asap rokok.

Sambil tertawa, dia menjelaskan bahwa tadi sebenarnya bukan mau kabur, hanya ingin pulang ke rumah tanpa menunggu jemputan. Namun karena tidak pamit, ya akhirnya bikin kehebohan di kantor yang mengurusi air mata ini.

Dia menceritakan, awal datang ke kota yang menewaskan 2 jendral sekutu itu, dengan bersepeda--saat ini sepeda masih dititipkan di warung kopi.

Rupanya selama di kota asal Pangeran Pekik, dia tidak punya kos atau tempat tinggal tetap, wajar jika diciduk Satpol PP karena dianggap Gepeng.

Untuk berteduh dia nunut di warkop. Makan, minum dan tidur dilakukan di situ.

"Ngamen" jawabnya, sambil terkekeh ketika saya tanyakan pekerjaannya.

"Lha alatmu opo?" timpal rekan saya, yang ikut nimbrung karena melihat klien ternyata nggenah.

"Kecrek, adah yakult" jawabnya kemudian.

"Entuk piro sedino?" tanya saya, penasaran.

"satus sewu mas, kadang luwih," jawabnya diiringi asap yang keluar dari mulutnya.

"lhooo uakeh iku, mbok gawe opo?" teman saya juga ikut penasaran.

"Iso ngirimi wong tuwo iku?" timpal saya sebelum dia menjawab.

"Gak mas, entek tak nggo mangan" jawabnya terkekeh. "Mangan opo satus sewu? Paling mbok nggo ngombe" tuduh saya sambil tertawa.

"Iyo, tak nggo ngombe" sambil tertawa renyah membenarkan tuduhan saya.

Itulah siklus kehidupannya di kota yang ditundukkan Mataram tanpa kekerasan ini. Hanya seperti itu, sampai akhirnya tertangkap ketika ada garukan gepeng di wilayah kerjanya, kebetulan pas jam kerjanya.

Setelah terjaring dia menghuni Liponsos selama 2 minggu 5 hari sampai kemudian dipulangkan.

"Nyapo ae ning liponsos" tanya saya.

"Mangan karo turu tok mas.. he-he-he," jawabnya sambil ketawa bahagia.

"Durung duwe bojo kan, gak golek kenalan ning kono (liponsos)?" kembali saya tanya.

"Lanang tok kok" kembali dia tertawa.

pemberian dari Liponsos Surabaya (dok.pri)
pemberian dari Liponsos Surabaya (dok.pri)

Saya diberitahu teman yang lain bahwa baju batik, celana jins yang dipakai dan tas pakaian merk Polo yang dibawanya adalah pemberian dari Liponsos.

Sekilas di tasnya ada nama dan alamat yang tersemat di sebuah kertas. Tertulis sebuah nama M. Ikang Fauzi Jombang--pantesan dia jadi pengamen, ternyata ada nama penyanyi Si Papap Preman-preman.

Bersamaan dengan habisnya tembakau di rokok di sela jari, saya beranjak dari obrolan tersebut. Sedangkan yang lain masih kepo bertanya tentang pengalaman kerja si klien selama di Ibukota Provinsi Jatim.

Rumor jika para pengamen dan pengemis mempunyai penghasilan yang besar memang benar adanya.

Seratus ribu per hari, sebuah angka yang fantastis, melebihi UMK kota asalnya, Jombang.

Kerjanya pun lebih mudah, waktu juga rileks dan tanpa target.

Tidak ditanya ijazah dan keahlian, tidak ada tes masuk.

Hanya bermodal berani malu dan sedikit kewaspadaan, maka penghasilan ratusan ribu sudah ada di kantong.

Kalaupun tertangkap, masih tetap akan diperlakukan manusiawi, ditampung, dengan fasilitas makan 3 kali sehari. Selain itu juga diberi baju dan diantar mudik gratis--hanya berlaku jika terjaring razia di Surabaya.

Setelah dipulangkan, para gepeng tersebut akan kembali menganggur, miskin dan menjadi beban keluarga, warga serta negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun