Kemampuan seseorang dalam menghafalkan Al Qur'an adalah bagian dari rizki. Itu yang senantiasa saya pegang ketika mendapati bahwa tidak semua santri saya memiliki kecepatan yang sama. Ada santri yang mampu menghafal 3 juz per tahun. Ada pula yang sudah beberapa tahun baru bisa menyelesaikan satu juz pertamanya.
Saya memahami mereka sudah melakukan berbagai upaya keras agar ayat demi ayat itu masuk dan tertera di kepala. Â Tapi kembali lagi, masuknya Al Qur'an ke dalam kepala adalah rizki masing-masing santri.
Sebagaimana rizki yang bisa kita indra semacam harta benda. Ada orang yang sudah bekerja begitu keras tapi tidak pula bertambah kekayaannya. Ada juga yang sepertinya santai sekali dalam keseharian tapi kekayaannya ada di mana-mana.
Sebagai pengampu di pesantren memahami bahwa hafalan itu rizki itu sangat penting agar kita bisa menerima dengan sepenuh jiwa. Tidak membandingkan satu santri dengan santri yang lain. Hal ini akan menimbulkan perasaan lega di hati bahwa semua ada jalannya sendiri.
Tentu saja pemahaman ini tidak lantas menjadikan pengampu pondok berleha-leha tidak mendorong santrinya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hafalan. Sama sekali tidak. Tentu saja pengampu harus mendorong ke arah sana.
Poinnya adalah ketika santri sudah berupaya semaksimal mungkin mencapai hafalan tapi ternyata hasilnya tidak sesuai harapan, pengampu hendaknya legowo dengan itu semua.
Pada hakikatnya menghafal Al Qur'an adalah pekerjaan seumur hidup. Sekalipun sudah menyetorkan 30 juz lengkap bukan berarti tugas selesai. Justru ada tahapan baru bagi mereka yang sudah menyelesaikan hafalan, muraja'ah. Sampai wafat.
Beberapa santri yang dulu saya kenal lambat dalam hafalan ketika dewasa bahkan dipermudah hafalannya. Ada yang menyelesaikan hafalan lima hingga tujuh tahun setelah dia lulus. Ada pula yang lima belas tahun kemudian menyelesaikan hafalan.
Salah seorang santri berseloroh, "Tenang saja, suatu saat saya akan selesai 30 juz dengan kuat." Dia mengatakan itu dengan penuh optimis. Sebagai informasi bahwa saat ini hafalan anak tersebut sedang tertatih. Tapi rasa optimisnya membuat saya yakin dia bisa melakukan itu kelak, asal konsisten.
Jauh di atas itu semua adalah bagaimana Al Qur'an menjadi petunjuk jalan kehidupannya. Mereka mengamalkan apa yang sudah dibaca dan dihafal. Maka sekalipun tidak semua juz dihafal, nilainya tentu jauh lebih baik daripada menjadikan Al Qur'an sekedar bacan tanpa penerapan.
Bagi para penghafal Al Qur'an, berapapun hafalan saat ini syukurilah. Teruslah berproses menambah dan menikmati hidangan mulia ini. Semoga kelak Al Qur'an akan datang dan memberikan penerang saat kita membutuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H