Bisa jadi beliau terlambat belajar tapi inspirasi tidak mengenal kata telat.
Meski jaraknya lumayan jauh dan membutuhkan perjalanan lumayan lama di jalan tapi beliau adalah satu-satunya peserta yang paling konsisten datang duluan. Selama bertahun-tahun. Rasanya belum pernah kami mendapati beliau telat atau baru hadir setelah guru datang.
Saat yang lain belum sampai lokasi beliau sudah menghadap meja belajar mengamati surat demi surat di juz 'amma yang ada tulisan latinnya tadi. Bagi pak Soekarno waktu tunggu itu tidak boleh berakhir sia-sia.
Sampai sini saja saya merasa minder. Betapa banyak waktu yang tidak bisa saya maksimalkan dengan baik dan berakhir sia-sia. Padahal soal waktu adalah salah satu hal yang kelak akan ditanya.
Kedisiplinan Pak Soekarno menjadi buah bibir di kalangan murid.
"Kita harusnya malu sama Pak Soekarno. Beliau yang sudah sepuh dan rumahnya cukup jauh tidak pernah telat," ustadz Bilal membuka obrolan setelah mengimami shalat maghrib. Saat itu kami sudah selesai mengajar dan Bersiap pulang.
"Kita ini masih muda tapi kadang semangat tua. Lihat kan, kita ini kalau datang hampir selalu kalah cepat dengan beliau," kami terus takdzim menyimak ustadz Bilal meneruskan obrolan.
Saya mencoba melihat ke dalam diri. Betapa sering saya ini menjadikan jarak sebagai alasan telat atau bahkan tidak datang suatu acara.
Perkataan ustadz Bilal tadi seolah menampar saya yang secara usia saat itu belum ada sepertiganya pak Soekarno.
"Di sini kita dianggap guru oleh murid-murid. Tapi lihatlah ada salah murid yang justru mengajarkan langsung kepada kita betapa berharganya waktu, nilai pentingnya istiqomah, dan perlunya semangat muda." ustadz Bilal terus saja mendobrak ruang kesadaran kami.
Dua tahun saya mengenal Pak Soekarno. Seiring dengan bertambahnya usia kesehatannya pun kian menurun. Setelah dirawat beberapa hari beliau meninggalkan kami dengan jejak inspirasi. Dengan teladan yang ingin juga kami wariskan kelak.