"Kelak ketika kita meninggal bukan warisan materi yang abadi tapi inspirasi apa yang akan dikenang orang di sekitar kita."
Saya mengenalnya sebagai salah satu murid belajar membaca Al Qur'an pekanan. Namanya pak Soekarno. Usianya tujuh puluh lima tahunan.
Setiap Sabtu dan Ahad sore beliau ikut belajar membaca Al Qur'an di lembaga yang saya dan teman-teman ampu.
Di sana ada kelas untuk anak-anak, remaja, ibu-ibu, dan bapak-bapak. Semua ada pengampu masing-masing.
Secara usia beliau merupakan yang tertua dari puluhan peserta lain. Usia yang sudah renta ditambah penglihatan yang tidak lagi tajam memuat beliau harus menempuh perjalan lebih lama dibanding peserta lain. Meski yang lain jaraknya bisa jadi  lebih jauh.
Jarak antara tempat belajar dengan rumah Pak Soekarno sendiri sekitar 15 km. Sebuah jarak yang lumayan jauh untuk ukuran usia beliau.
Bagi anak muda jarak itu bisa ditempuh dengan sepuluh sampai lima belas menit. Tapi bagi beliau setengah jam adalah angka paling cepat yang bisa beliau usahakan. Dalam banyak kesempatan beliau baru sampai lokasi  setelah empat puluh menit membelah kepadatan jalan.
Tampilannya sederhana. Ketika musim hujan datang beliau membekali diri dengan mantol hujan plastik untuk menutup tubuhnya. Memakai motor Astrea Grand tua dengan tas berisi juz 'amma di dalamnya.
Ya, di saat yang lain membawa mushaf Al Qur'an dalam sesi belajar ini beliau hanya membawa juz 'amma yang ada tulisan latinnya. Tentu saja kami tidak mempermasalahkan.
Layaknya orang yang sudah tua kemampuan beliau untuk menangkap pelajaran tahsin mengalami banyak kendala. Lagi-lagi itu bukan masalah. Semangat beliau belajar membaca Al Qur'an di usia senja justru menjadi inspirasi kami yang masih muda.