Mohon tunggu...
Andi Ardianto
Andi Ardianto Mohon Tunggu... Guru - Guru SD IT Insan Cendekia

Semoga tulisan yang saya hasilkan bisa menjadi amal yang terus mengalir.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Piala Dunia dan Komunikasi Rumah Tangga

19 Juli 2018   08:39 Diperbarui: 19 Juli 2018   08:38 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Gegap gempita Piala Dunia 2018 Rusia baru saja berakhir dengan keluarnya Prancis sebagai raja di muka bumi. Di final tim Ayam Jantan ini mengalahkan Kroasia dengan skor 4:2.

Antoine Griezmann, Kylian Mbappe, dan Paul  Pogba menyumbang masing-masing satu gol.  Sementara satu gol lainnya berasal dari bunuh diri Mario Mandzukic.

Kroasia hanya mampu menyarangkan bola ke gawang Hugo Lloris lewat sepakan keras Ivan Perisic dan sontekan Mario Mandzukic.

Berbagai adegan, drama, dan ketegangan pun menyertai gelaran turnamen empat tahunan ini.

Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo gagal mengeksekusi penalti ke gawang lawan. Neymar da Silva Santos Junior yang guling-guling karena terinjak pemain lawan, adalah beberapa hal yang tidak terlewat dari perhatian pemirsa di seluruh dunia.

Kita, sebagai penonton, biasanya sangat jago mengomentari pertandingan yang berlangsung. Tidak jarang, ikut menyalahkan pemain yang gagal memanfaatkan peluang yang sudah hampir jadi gol.

Terlebih kalau itu berasal dari hadiah penalti. Sekelas Messi dan Ronaldo saja bisa penonton bodoh-bodohlan karega gagal memasukkan bola lewat titik putih.

Kita, kadang seolah merasa lebih hebat dari para pemain terbaik dunia.

Piala Dunia kali ini juga menjadi panggung dan pengakuan bagi pemain yang selama ini bercap pemain tanpa tanda jasa atau unsung hero di klub masing-masing.

Luka Modrid misalnya. Di Real Madrid, Modrid memberi pengaruh besar atas kesuksesan raksasa Spanyol itu menyabet empat gelar Liga Champions dalam lima tahun terakhir. Tapi pamornya jelas tidak seterang Cristiano Ronaldo, Sergio Ramos, bahkan Toni Kroos.

Pun dengan Ivan Rakitic yang meski jadi langganan starter di Barcelona tapi tetap tidak bisa menyaingi sinar Messi di klub Catalan itu.

Hal yang sama dialami Mbappe yang pamornya kalah dari pemain termahal dunia, Neymar, di PSG.

Meski begitu baik Modrid, Rakitic, dan Mbappe mampu menunjukkan tajinya di pentas sepakbola akbar ini di saat bintang-bintang di atas harus pulang prematur karena gagal di babak penyisihan dan fase gugur.

Hebatnya obrolan seputar sepakbola tidak berhenti ketika pertandingan berlangsung. Kedai, restoran, ruang pertemuan, kamar tidur, hingga sawah tidak jarang menjadi tempat untuk kembali membahasnya.

Marah atas kegagalan tim yang didukung, belum terima dengan keputusan wasit, menyesali bola yang hanya mencium tiang gawang, hingga menyalahkan pemain rasanya masih gurih dibahas.

Sebenarnya ketika seseorang sedang membicarakan sepakbola yang baru saja berlangsung, apalagi pada orang yang sama-sama menonton, dia bukan melulu sedang menganalisa saja. Memang ada yang seperti itu, tapi banyak juga yang lebih pada keinginan mengekspresikan apa yang ada di dalam dada.

Yang dia butuhkan saat itu adalah didengarkan. Perkara benar salah analisanya itu urusan lain. Cukup dengan didengarkan, dengan sesekali ditimpali kawan ngobrolnya, dia sudah senang.

Nah, hal itu pun berlaku di rumah tangga kita.

Ada kalanya suami atau istri berkali-kali membahas suatu masalah yang sebenarnya sudah sama-sama diketahui. Misal, tentang naiknya harga kebutuhan pokok.

Keduanya juga tahu naiknya harga-harga itu berpengaruh pada situasi keuangan keluarganya. Beberapa pengeluaran harus diatur ulang. Tanpa dibahas berkali-kali pun dia sudah tahu.

Nah, yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa, ketika pasangan sedang membahas sesuatu, bukan berarti dia sedang tidak tahu. Bisa jadi karena dia sedang geram atas situasi ini.

Maka kebutuhan didengarkan menjadi hal utama ketika situasi ini terjadi. Kebutuhan untuk didengarkan menjadi lebih tinggi.

Sama juga misal pasangan kembali menceritakan salah satu momen hebat dalam hidupnya. Bisa jadi kita sudah mendengar hal ini untuk kesepuluh kalinya.

Maka jangan kecewakan perasaannya dengan memutus cerita dengan, misal mengatakan, "Kamu itu berapa kali sih mengalami hal itu? Kok dari dulu ceritanya itu-itu saja"

Kalau pasangan sedang antusias cerita terus dipotong seperti itu, percayalah, akan ada luka di hatinya. Dia seolah kehilangan orang yang mau mendengarkan kisah-kisah hebatnya.

So, marilah belajar bersabar jika pasangan kita, untuk kesekian kalinya, menceritakan peristiwa serupa. Karena  kesediaan mendengarkan perkataannya sejatinya adalah bentuk cinta kita padanya.

-----

Andi Ar

Guru SDIT Insan Cendekia, Teras, Boyolali, Jawa Tengah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun