Pendahuluan
       Dalam membina rumah tangga pastinya kita semua menginginkan agar rumah tangga selalu dalam kebaghagian, ketentraman, dan kerukunan. Tapi hal tersebut tidaklah mudah sepertihalnya memnbalikkan tangan, akan tetapi banyak hal yang harus dipelajari dan dipahami. Adanya permasalahan di dalam rumah tangga suatu saat pasti terjadi, tinggal kita bagaiman merespon dan menanggapi permasalahan tersebut. Adakalanya permasalahan sudah tidak bisa lagi dipecahkan, sehingga tidak bisa lagi untuk disatukan kembali. Maka tidak ada cara lain kecuali harus melangkah pada solusi terakhir yaitu Talak atau Cerai.
       Perdebatan terkait keabsahan perceraian di luar pengadilan juga terjadi di Indonesia, Organisasi keagaamaan yang terbesar di Indonesia yaitu Organisasi Nahdatul Ulama dan Majlis Tarjih Muhammadiyah, berbeda pendapat tentang keabsahan perceraian di luar pengadilan, Organisasi Nahdatul Ulama berdasarkan hasil Muktamar ke 28 tahun 1989, di Ponpes Krapyak Yogyakarta, menghasilkan keputusan No.23/MNU-28/ 1989 yang menyatakan sahnya perceraian di luar Pengadilan Agama. (Abdullah, 2022)
       Sementara Majelis Tarjih Muhammadiyah, hasil sidang tanggal, 8 Jumadil Ula 1428 H./ 25 Mei 2007 M, menyatakan tidak sahnya perceraian di luar Pengadilan Agama.9 Sedangkan Majelis Ulama Indonesia, berdasarkan hasil ijtima komisis fatwa di Ponpes Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat, menyatakan sahnya perceraian di luar pengadilan Agama, dengan syarat adanya alasan yang dibenarkan hukum Islam dan dapat dibuktikan di pengadilan. Dan pada tanun 2012 MUI memfatwakan perceraian di luar Pengadilan hukumnya sah dengan syarat ada alasan syar'I yang kebenarannya dapat dibuktikan di Pengadilan. Fatwa MUI Pada Sidang Ijtima'. No. I Tahun 2012. (Abdurrahman,  2019)
Perceraian Menurut Hukum Islam (Fikih Islami)
       Dalam agama Islam, perceraian diizinkan, akan tetapi ada etika dan prosedur yag harus diikuti agar prosesnya berjalan sesuai dengan ajaran islam. Etika ini mencakup aspek-aspek kewajiban mencoba untuk memperbaiki hubungan memberikan nafkah pada mantan pasangan, dan menghindari segala aspek bentuk permusuhan dan konflik yang dapat merugikan kedua belah pihak.
       Sebagai umat muslim hukum perceraian telah diatur didalam Al-Quran, As-Sunnah dan kitab-kitab para Ulama. Dalam kajian fikih kitab kuning, sebagaimana dinyatakan bahwa talak adalah hak mutlak suami. Talak dianggap sah apabila dijatuhkan secara sadar oleh suami yang berakal dan baligh. Ketika talak sudah diucapkan oleh seorang suami terhadap isterinya, maka seketika itu jatuhlah talaknya. Maka suami isteri itu menjadi bercerai. Tak ada keharusan untuk berurusan dengan pengadilan. Perceraian secara kitab kuning ini tidak mengharuskan ada bukti tertulisnya. Suami isteri itu berpisah begitu saja. Oleh karena itu dikalangan syi'ah imamiyah berpendapat bahwa talak itu harus diucapkan di depan 2 orang saksi, kalau talak tidak diucapkan di depan 2 orang saksi, talaknya tidak sah. Berbeda dengan pendapat jumhur ulama, bahwa talak ini merupakan hak suami, maka kapan saja talak itu dijatuhkan hukumnya sah, baik ada saksi ataupun tidak ada saksi. (sabiq, 2004)
       Dan merupakan kesepakatan para Ulama mengenai talak, yaitu tidak perlu adanya saksi. Karena saksi itu hanya disunnahkan saja. Hal ini sesuai dengan kisah Rosulullah yang pernah melakukan talak dengan tanpa saksi. Begitu juga deng dilakukan oleh para Sahabat. Maka berdasarkan dalil-dalil ini talak tetap sah menurut hukum meskipun tanpa adanya saksi, hal ini sangat berbeda dan membingungkan jika dikatakan bahwa keabsahan perceraian harus dilakukan di Pengadilan, dan tidaklah sah talak yang dilakukn diluar pengadilan. Ini sangat bertolak belakang dengan ajaran fikih yang dibangun oleh para Ulama. (sabiq, 2004)
Perceraian Menurut Hukum Positif
Dalam pandangan hukum, perceraian tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Maksudnya, harus ada alasan yang dibenarkan oleh hukum. Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang notabene berwenang memutuskan, apakah perceraaian layak atau tidak untuk dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang menyangkut konsekuensi terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan melakukan perceraian. Seperti, hak asuh anak, nafkah mantan istri dan anak, serta pembagian harta gono gini. (Budi Susilo, 2008)
Berdasarkan bunyi Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 yang menerangkan bahwa talak harus dilakukan di depan hakim di pengadilan. Bahkan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) tahun 1991 menyebutkan bahwa talak dilakukan dengan usaha bersama atau sendiri. Sanksi Indonesia tidak mengatur sanksi pidana dan perdata secara tegas dalam UU Perkawinan,namun tertuang dalam PP RI no 9 1975 pasal 45 Sanksi diatur pada pasal 124, sanksi denda sebesar RM 1000 atau sanksi penjara tidak lebih 6 bulan atau kedua duanya. Indonesia Indonesia tidak mengatur sanksi pidana dan perdata secara tegas dalam UU Perkawinan,namumengatur pada PP RI No. 9 tahun 1975 dan sudah tidak relevan di terapkan pada masa ini. Malaysia Mengatur denda atau penjara 164 akan dianggap sah setelah mendapatkan keputusan dari Hakim.dapat diartikan bahwa perceraian diluar pengadilan menurut hukum positif tidak sah, Kedua sumber hukum ini menjadi acuan bagi hakim untuk tidak menggangap sah talak di luar pengadilan.