Mohon tunggu...
ALBAHRI
ALBAHRI Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Sebaik-baik orang yang bermanfaat kepada sesamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

POLITIK DAN UANG

9 Desember 2020   06:27 Diperbarui: 9 Desember 2020   06:38 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara terpisah saya menulisnya karena pembahasannya lain, tetapi terkadang dilakukukan sepaket menjelang hari pencoblosan untuk mempengaruhi pilihan-pilihan ataupun kepada orang yang sudah berkomitmen untuk mencoblos calon tertentu dengan janji uang.

Tidak bisa dipungkiri semua aktivitas membutuhkan biaya operasional, termasuk politik memerlukan uang, sehingga harus dipahami utuh persoalan uang dan politik ini. Jika disama ratakan maka semua akan kena imbas politik uang. Lihat Parpol untuk menjatuhkan pilihan setelah mengkaji si calon ada istilah biaya sewa kendaraan, konsultan pemenangan, penceramah dibayar mahal agar berceramah mendukung calon, peneliti diundang oleh calon, guru besar dan pakar untuk membuat visi misi, semuanya dibayar dalam rangka mendukung calon yang membayarnya.

Politik adalah jalan untuk meraih kekuasaan, tidak mengapa orang berpolitik untuk memperjuangkan nasib rakyat, untuk mengatur SDM dan SDA yang melimpah, tidak perlu juga dihakimi karena setiap orang tidak bisa mengukur niat orang lain, tampilan luar atau aksinya yang nampak terkadang memberi simpulan ikhlas atau tidak ikhlas untuk pengabdian, tetapi itu hanya dugaan, kedalaman hati orang hanya dia sendiri dan Allah yang paling tahu, berpolitik untuk apa sebenarnya, apakah tujun utamanya uang atau yang lain.

Uang, harta dekat dengan kekuasaan, Bupati/Walikota/Gubernur adalah penguasa anggaran di daerahnya masing-masing sehingga ini yang terkadang membuat tergiur untuk berlomba berkompetisi lewat jalur politik, jalan ini penuh onak dan duri, orang terkadang tidak segan membunuh manusia karena sebab uang, yang ujungnya orang yang punya kuasa menyuruhnya, fitnahnyaa besar, orang bertikai karena masalah politik, paling banyak tantangannya jika ada orang yang mau berbuat baik kepada orang banyak, ancaman, cacian bahkan pembunuhan tidak sepi kepada orang yang melakoni jalan ini, itulah sebabnya Imam Al Mawardi mengatakan ibadah itu kan semakin berat tantangannya semakin besar juga ganjarannya misalnya shalat Subuh itu besar ganjarannya karena susah, puasa menahan lapar haus, semuanya diganjar berbanding dengan tantangan dan kesulitan, beliau katakan Politik itu (meraih kekuasaan) adalah Ibadah paling besar pahalanya karena tantangannya besar, pengorbanannya besar. Efek penguasa besar, bisa memobilisasi orang banyak dalam kebaikan, kekayaan yang melimpah bisa digunakan untuk kesejahteran semua rakyatnya, ini adalah kebaikan yang susah dilakukan oleh person keculi dengan kekuasaan.

Nah, bicara politik uang yang sangat marak ketika praktik politik terutama ketika memburu target suara. Politik uang itu banyak pengertian, seperti menggunakan anggaran APBD untuk kepentingan si calon ini banyak caranya dengan adakan acara cover-cover tertentu ini hanya bisa dilakukan oleh incumbent biasanya. Ada juga lewat pembagian uang yang saya maksud bukan biaya tim sukses kordes, korcam kordinator TPS, saksi, dll. Tetapi terkait masyarakat baik itu sudah punya pilihan atau belum untuk diberi uang dengan harapan diberi juga suara, dan ini teknologi pencari suara yang sangat diunggulkan untuk meraih suara cepat, mengingat tipologi masyarakat yang sudah lama diketahui.

Masyarakat Sulawesi Selatan punya prinsip soal politik uang ini "Kita berdosa jika mengambil uang si calon lalu tidak dipilih orang yang memberi uang" sehingga sangat membudaya dan tidak malu-malu lagi diungkap terang terangan, dan panwas tidak bisa menangkap pelaku dan penerima, masalahnya karena sama-sama mau hehe. Kata berdosa inilah yang membuat berjaya pelaku politik uang, tanpa dipikirkan masyarakat darimana itu asalnya uang yang dibagikan. Ada video yang beredar luas di grup-grup dari wahdah Islamiyah mengugkap bhwa itu adalah kategori suap, dengan menyetir hadits suap dan disuap sama-sama neraka, itu jelas jika masalah kebenaran tertutupi atau dengan suap itu seperti di pengadilan ada orang yang benar dan ada orang yang salah, namun yang salah menyuap si hakim sehingga keputusannya tidak adil, dibenarkan yang salah disalahkan yang benar ini jelas kezaliman ada ketidakadilan, jelas haramnya suap kondisi seperti itu.

Bagaimana dengan politik uang, apakah ini termasuk suap. Saya berpendapaat jika uang itu mempengaruhi pilihanmu itu artinya Anda kena suap, jika uang itu tidak mempengaruhi pilihanmu bagi saya itu bukan suap, tetapi uang rakyat kembali ke rakyat, jadi terimalah dengan riang gembira uang itu, mungkin itu dari margin proyek selama berkuasa lalu saat jelang pemilihan dibagi-bagi contoh jika di Pangkep ada bendungan Tombolo tidak selesai padahal sudah puluhan milyar biayanya bahkan ratusan M dengan yang sebelumnya, jalanan sangat cepat rusak, dll.  jadi itu uangmu dikembalikan kepada kalian, daripada KPK yang ambil, Anda juga berhak mengambilnya, marak politik uang salah satu indikatornya karena kesejahteraan belum tercapai di negeri ini. Uang 50 apalagi 100 ribu bagi si miskin itu uang sangat besar sehingga merasa bersalah jika tidak balas budi dengan memilihnya. Coba bawa ke kompleks perumahan yang bergaji 20 juta perbulan uang 100 ribu si calon menjadi tidak berarti.

Bagaimana dengan si calon, jika itu suap maka menjadi haram dimakan seluruh gajinya selama menjabat, makanya saya katakaan jangan terlalu cepat katakan suap karena itu tidak mempan petuahnya di kalangan masyarakat umum karena tetap diambil uangnya malah berbalik opini berdosa jika tidak dipilih kalau sudah ambil uangnya lucu kan..., sepertinya hadits tentang suap itu menjadi lelucon saja bagi mereka. Seluruh anggota DPRD, Bupati, Walikota, Gubernur yang terpilih menggunakan pendekatan uang untuk mendapatkan suara, caranya saja yang berbeda kemasan. Ada baiknya menggunakan pendekataan "bujukan kebaikan" seperti yang pernah terjadi pada zaman Nabi yang diberi atau dijanji hadiah sangat besar kepada Suraqah bin Malik untuk membunuh Rasulullah, ternyata di tengah perjalanan mengalami kendala karena kudanya selalu terperosok masuk ke tanah ketika hendak menebas kepala Rasulullah, lalu ditolong oleh beliau lalu diancam lagi kembali, terperosok masuk ke tanah lagi sangat dalam baru ditolong oleh Nabi lalu kemudian Dia masuk Islam karena peristiwa itu, kemudian nabi menjanjikan kepada Suraqah ini dengan pagar emas Persia ketika ditaklukkan nantinya, ini sogokan nabi, tentu bukan tetapi bujukan kebaikan agar tambah teguh keyakinan orang ini dan janji nabi melebihi besar janji hadiah besar dari kafir Quraisy kala itu, mirip juga ketika ada muallaf, boleh diberi zakat sebagai bujukan kebaikan kepadanya bukan sebagai sogokan.

Bisakah konsistensi kebaikan itu melekat pada calon pemimpin bangsa ini, sehingga bukan suap kepada rakyat diberikan, bukan juga hasil rampokan uang rakyat, tetapi pemberian ikhlas tanpa mengharap apa-apa kecuali niat ingin perbaikan massif kepada rakyat ketika berkuasa. Ingat cerita Sulaiman yang ingin disuap berpeti-peti emas oleh Ratu Balqis tetapi ditolaknya, Sulaiman katakan apa yang diberikan Allah kepadaku jauh lebih banyak. Beliau penguasa hanya ingin Balqis datang menyerahkan diri dan tunduk kepada Tuhan semesta alam, bukan menghamba kepada penguasa ataupun menghamba kepada uang. Cerita Muhammad bin Abdullah ketika mengirimi raja Persia surat untuk berislam, lalu kepada penguasa Yaman, nabi katakan saya tidak mengharapkan kerajaaanmu, tetaplah berkuasa di negerimu saya hanya mengharapkanmu berislam dan dosa rakyatmu kamu tanggung jika tidak mengikuti petunjuk ini.

Menurut saya, kepada para mublligh yang selalu menggunakan hadits suap itu untuk konteks pilkada ada baiknya disetop. Diganti dengan pernyataan bahwa tidak berdosa mengambil uang pemberian calon lalu tidak dipilihnya tetapi tidak tersuap oleh pemberian uang dari calon, tetaplah merdeka dalam memilih. Yang berdosa itu ketika tidak shalat karena inilah perkara yang sangat diabaikan ummat ini lalu dianggap biasa-biasa saja, malah mereka berfatwa kita berdosa jika sudah ambil uangnya lantas tidak dipilih, sehingga bergeser pengertian berdosa itu.
@Ruhbaru77
ALBAHRI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun