Penulis: Subhan Alba BisyriÂ
Jakarta, 04.08.2023
Hutang itu harus dijadikan solusi, solusi bagi yang berhutang, dan solusi karena bisa membantu, bagi yang memberi hutang.
Dari awal sebelum berhutang pemberi hutang harus berniat membantu bukan mengendalikan apalagi menindas, dan bagi penghutang harus berniat untuk membayar, berniat itu bukan hanya dalam perjanjian, tapi berniat dalam hati dan disertai dengan action sesuai yang diniatkan.
Dalam kehidupan sehari-hari, hutang telah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Dalam konteks hukum, hutang seringkali menjadi sumber perselisihan dan konflik antara para pihak yang terlibat.
Namun, hutang juga memiliki dimensi etis dan religius yang perlu dipahami. Tulisan ini, akan membahas hutang menurut hukum dan Al Qur'an serta menelaah sisi keadilan dan tanggung jawab dalam menyelesaikan hutang.
Pertama. Hutang Menurut Hukum
Hutang dalam konteks hukum di Indonesia diatur oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut undang-undang tersebut, hutang merupakan kewajiban pembayaran yang timbul dari perjanjian atau perbuatan hukum lainnya. Dalam hal ini, kedua belah pihak yang terlibat dalam hutang memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.
Dalam melaksanakan hutang, pihak yang berhutang memiliki kewajiban untuk membayar sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan. Sementara itu, pihak pemberi hutang wajib memberikan bukti utang yang jelas untuk pembuktian dan perlindungan konsumen.
Jika hutang tidak dilunasi, pihak pemberi hutang dapat mengambil tindakan hukum untuk menagih hutang tersebut. Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam penegakan hukum, negara juga perlu mempertimbangkan aspek keadilan dan keterbatasan ekonomi pihak yang berhutang.