Berbeda dengan Indonesia dan Malaysia, Brunei Darussalam hampir tidak mendapatkan tantangan dalam upaya menegakkan Islam secara utuh. Sultan Bolkiah bahkan telah mengikrarkan Brunei Darussalam sebagai negara Islam-Melayu-Baraja. Islam pun sudah menjadi konstitusi negara. Walaupun penduduk Brunei Darussalam tidak sampai 70% yang memeluk Islam, tetapi Brunei Darussalam memiliki akar sejarah khusus dengan Islam sehingga seruan menegakkan hukum Islam bagi negara hampir tidak mendapatkan kendala.
Dalam UU Brunei Darussalam yang mengatur sendi kehidupan, negara dikendalikan oleh Sultan. Dalam praktiknya, UU ini masih terbatas dan belum menggambarkan kewenangan negara terhadap Islam. Meskipun begitu, kedudukan Sultan sebagai pemimpin agama sangat kuat. Mereka yang dilantik sebagai pembantu-pembantu Sultan diharuskan berlatar belakang etnis Melayu yang beragama Islam, lebih khususnya bermazhab Syafii dari segi fikih dan ahlusunah dari sisi akidah (Halkis, 2014; Ghofur, 2015).
Untuk menunjukkan identitas ideologi Brunei Darussalam, Sultan bahkan mengeluarkan dekrit yang isinya membuat garis pemisah antara Islam pribumi dan Islam luar, terutama kaum fundamentalis. Sultan juga membuat beberapa kebijakan yang semakin menunjukkan eksistensi Islam di Brunei Darussalam, di antaranya adalah keharusan bagi warga Melayu untuk mampu membaca Al-Qur'an, perintah pengajaran bahasa Melayu dalam aksara Jawi (Arab-Melayu) agar masyarakat memahami hubungan antara bahasa Melayu dengan warisan budaya Islam, dan larangan jual beli minuman keras di toko-toko atau hotel-hotel (Halkis, 2014; Ghofur, 2015).
Sementara itu, di beberapa negara di Asia Tenggara, umat Islam hanya menjadi sebatas minoritas. Di negara-negara tersebut, umat Islam biasanya hidup berkomunitas di wilayah tertentu, seperti halnya Muslim Moro di Filipina, Muslim Pattani di Thailand, Muslim Rohingya di Myanmar, Muslim Cham di Kamboja, dan lain sebagainya. Eksistensi umat Islam di wilayah tersebut terus memudar karena terancam oleh kekuatan politik penguasa.
Di Filipina, perjuangan Muslim Moro sudah berlangsung sejak penjajahan Spanyol dan Amerika Serikat. Pasca kemerdekaan Filipina, alih-alih mendapatkan kedamaian, Muslim Moro justru ditekan oleh pemerintah yang berkuasa. Hal tersebut tidak terlepas dari peran gereja dalam proses kemerdekaan Filipina. Di sisi lain, dalam menyikapi tekanan pemerintah Filipina, Muslim Moro juga berbeda pandangan sehingga lahir berbagai macam kelompok pergerakan dengan ideologi dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa di antaranya bahkan sangat ekstrim sehingga berkali-kali memicu pemberontakan dengan pemerintah Filipina (Ghofur, 2016).
Di Thailand, Muslim Pattani harus menghadapi kekuatan politik penguasa. Raja Thailand mengharuskan Muslim Pattani untuk meninggalkan identitas keislaman mereka. Raja Thailand juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan lain yang sangat menindas Muslim Pattani. Hal tersebut memicu pemberontakan. Merespon pemberontakan tersebut, Raja Thailand dengan dukungan dari Amerika Serikat semakin leluasa bertindak brutal (Sanurdi, 2018).
Di Myanmar, perjuangan Muslim Rohingya berawal dari adu domba yang dilakukan para penjajah dengan umat Budha. Adu domba tersebut menghasilkan perpecahan yang berdampak hingga masalah politik, budaya, ekonomi, dan pendidikan. Sampai saat ini pun, perselisihan antara Muslim Rohingya dan Umat Budha tidak pernah berakhir. Hal tersebut mengakibatkan Muslim Rohingya harus memilih antara bertahan dengan tekanan dari penguasa atau meninggalkan Myanmar (Nasruddin, 2017).
Di Kamboja, tekanan politik terhadap Muslim Cham sangat jelas terlihat pada masa kudeta Khmer Merah di Kamboja antara tahun 1975 - 1979. Muslim Cham ditindas dengan segala macam bentuk penindasan. Rumah, tempat ibadah, bahkan kampung halaman mereka dilenyapkan oleh penguasa saat itu. Hal tersebut sangat mencerminkan bagaimana kekuatan politik penguasa dapat berbuat apa pun, bahkan jika harus mengusir kelompok yang tidak sejalan dengan keinginan penguasa (Fawakih, 2016).
Sementara itu, di Singapura, umat Islam cenderung lebih tenang. Pemerintah Singapura hampir tidak pernah melakukan tekanan, seperti halnya yang terjadi di Filipina, Thailand, Myanmar, dan Kamboja. Pemerintah Singapura justru beberapa kali mengeluarkan aturan yang mengarah pada kepentingan Islam dan mengadaptasi lembaga-lembaga Islam bentukan Inggris. Sebagai minoritas, umat Islam lebih memilih untuk beradaptasi dan berjuang mempertahankan identitas mereka dengan melakukan kerja sama yang saling menguntungkan, ketimbang melepaskan diri dari ikatan nasional (Sudrajat, 2000).
Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa peran Islam sebagai kekuatan politik tidak bergantung pada seberapa besar jumlah penduduk yang beragama Islam, melainkan lebih ditentukan oleh orientasi ideologi rezim yang berkuasa, kekuatan bersama umat Islam untuk bersatu, dan komitmen kelompok-kelompok Muslim di Asia Tenggara untuk berjuang bersama.
REFERENSI