Mohon tunggu...
Himawan Ulul
Himawan Ulul Mohon Tunggu... Freelancer - Terus belajar meski dalam keterbatasan

Peternak Sugar Glider

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Trump dan Gagalnya Rally Round The Flag

14 Januari 2020   22:38 Diperbarui: 14 Januari 2020   22:59 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak dilantik tiga tahun yang lalu, Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump selalu menjadi sosok media darling. Berita positif, negatif, hingga kontroversial semua pernah terlahir dari sosoknya.

Berita paling anyar adalah langkah berani Trump menghabisi Qaseem Soleimani lewat serangan drone dekat Bandara Internasional Baghdad, awal tahun ini.

Oleh Trump, orang terpenting nomor dua di Iran itu dicap sebagai teroris. Bahkan jenderal Garda Revolusi Iran itu dianggap lebih berbahaya dari Abu Bakr al-Baghdadi (ISIS) dan Osama bin Laden (Al Qaeda).

Seketika langkah Trump menjadi sorotan dunia. Selain membuat suasana politik Timur Tengah mendidih, isu perang dunia ketiga juga turut mencuat. 

Akan tetapi, dari sisi lain, langkah Trump membunuh Soleimani juga dapat diasumsikan sebagai upaya mendongkrak elektabilitas pada Pilpres 2020, musim semi nanti.

Bagaimana tidak, citra dan elektabilitas Trump sempat anjlok setelah diketahui terlibat skandal dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang berujung pemakzulan (impeachment).

Melalui panggilan telepon, Trump meminta Zelensky mengawasi Joe Biden yang tidak lain adalah rival kuatnya pada pemilu mendatang. Laporan lain juga menyebutkan bahwa Trump sempat menekan Ukraina dengan menahan bantuan militer senilai US$250 juta hingga sepekan sebelum melakukan panggilan telepon.

Bahasa kerennya, upaya Trump dalam menaikkan elektabilitasnya melalui perang, disebut sebagai rally round the flag effect. Konsep ini diperkenalkan oleh Richard Neustadt dan Kenneth Waltz kemudian didalami oleh John Muller pada 1973.

Konsep rally round the flag effect selalu terdiri dari tiga aspek, yakni peristiwa yang bersifat global, melibatkan AS dan presiden secara langsung, serta memiliki efek dramatis.

Lewat metode ini, presiden AS bisa show off patriotismenya kepada publik. Gayung bersambut, masyarakat AS juga tak ingin melihat negaranya dipecundangi di arena internasional. Publik, khususnya kelompok pro-perang kemudian akan cenderung akan mendukung presiden, elektabilitas pun meningkat.

Sederet nama presiden AS sudah pernah menikmati buah manis rally round the flag effect ini. Barack Obama pasca menghabisi Osama bin Laden, George W. Bush pasca serangan 11 September, John F. Kennedy pasca krisis rudal Kuba. Termasuk Gerald Ford, Franklin Roosevelt, Jimmi Carter, hingga Richard Nixon dengan peristiwa internasional nan dramatisnya masing-masing.

Anomali Donald Trump

Namun sayang seribu kali sayang, rally round the flag effect tampaknya tidak berdampak seperti yang diharapkan Trump. Kendati telah membunuh dua pentolan teroris dunia, Abu Bakr al-Baghdadi dan Qaseem Soleimani, dalam waktu kurang dari 12 bulan, elektabilitas Trump belum naik signifikan.

Dalam jajak pendapat Gallup, approval rating Trump hanya di kisaran 45 persen (Desember 2019). Sementara survei situs Fivethirtyeight memperlihatkan tingkat ketidaksukaan masyarakat terhadap Trump di kisaran 53 persen (Januari 2020), memburuk dalam tiga tahun terakhir.

Artikel Trump Cultivated His Own Credibility Crisis on Iran tulisan Peter Nicholas yang dimuat The Atlantic mengatakan, kredibilitas Trump di mata masyarakat AS sudah hancur sejak tahun pertama. Elektabilitasnya diperkirakan tidak akan banyak berubah.

Masyarakat AS menilai Trump adalah orang yang keras kepala sekaligus sembrono dalam mengambil kebijakan. Publik muak tatkala melihat Trump memecat pejabat dengan seenaknya, menuding media mainstream menyebar hoaks, dan gelut di jejaring Twitter.

Gagal untung, malah buntung.

Keputusan menghabisi Qaseem Soleimani berpotensi menjadi senjata makan tuan. Bahkan negara-negara lain terancam terkena getah dari perbuatan Trump.

Lewat manuver politik Soleimani, Iran berhasil menjalin hubungan erat dengan Irak, Lebanon, Suriah, hingga Yaman selama belasan tahun. Oleh sekutunya, Soleimani dianggap pemimpin yang dihormati.

Dengan terbunuhnya Soleimani, terlebih lagi di tangan AS, tentu Iran dan sekutu tak akan tinggal diam. Pimpinan Hezbollah Hasan Nasrallah telah menyatakan mengibarkan bendera perlawanan di seluruh Timur Tengah.

Financial Times memprediksi adanya akan adanya serangan yang menyasar tentara, pejabat diplomatik, warga sipil, dan pangkalan militer AS di wilayah Timur Tengah. Serangan Iran juga berpotensi merembet ke Afrika hingga Amerika Latin.

Ranah siber juga dipastikan menjadi arena perlawanan. Iran tercatat pernah mengirim malware ke Saudi Aramco, perusahaan minyak Arab Saudi, dan mengakibatkan hilangnya 75 persen dokumen dan digantikan gambar bendera AS terbakar. Sejak 2011, bank-bank di AS juga rutin menerima serangan siber, diduga dilakukan oleh Iran.

Sekali lagi, harga dari nyawa seorang Qaseem Soleimani amatlah mahal. Api kadung tersulut, mampukah Donald Trump mengurai kalut?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun