Mohon tunggu...
Himawan Ulul
Himawan Ulul Mohon Tunggu... Freelancer - Terus belajar meski dalam keterbatasan

Peternak Sugar Glider

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Prabowo, Natuna, dan Teori L'Histoire se Repete

13 Januari 2020   11:17 Diperbarui: 14 Januari 2020   19:04 1222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prabowo Subianto pernah berujar bahwa dirinya lebih TNI dari banyak TNI. Kata-kata tersebut terlontar dalam acara Debat Capres Pemilu 2019 yang kala itu mengusung tema hubungan internasional.

Prabowo menegaskan alat utama sistem senjata (alutsista) dan kekuatan TNI adalah modal penting menjaga kedaulatan negara. Kegiatan diplomasi tak akan berpengaruh besar apabila backup kekuatan militer tidak memadai, menurutnya.

"Diplomasi kalau hanya senyum-senyum, menjadi nice guy, ya begitu-begitu saja, Pak. Kalau ada armada asing masuk ke laut kita, apa yang kita bisa buat?" ujar Prabowo saat menyandang status calon presiden nomor urut 02 kala itu.

Kini hiruk pikuk pemilu telah sirna. Prabowo sudah merapat ke istana. Bahkan dihadiahi jabatan Menteri Pertahanan (Menhan) Republik Indonesia. Lantas bagaimana sikapnya menyoal Cina yang merongrong Natuna?

Situasi di perairan Natuna sedang memanas lantaran banyaknya kapal Cina yang kembali berlayar di wilayah tersebut pascaberhentinya Susi Pudjiastuti dari pos Menteri Kelautan dan Perikanan.

Presiden Jokowi melalui Kementerian Luar Negeri sudah melayangkan nota protes, namun Cina mengklaim perairan Natuna merupakan kawasan jalur nelayan tradisionalnya sejak zaman baheula.

Kini publik bisa menilai bahwa kata-kata "Lebih TNI dari banyak TNI" sepertinya tidak lebih dari jargon manis kalimat dagang dalam rangka kampanye Prabowo.

Bukannya tegas seperti yang ia sesumbarkan tahun lalu. Prabowo sebagai Menhan malah lembek. Atau jika kata lembek dirasa terlalu kasar, Prabowo melunak, mungkin lebih sopan.

Sejauh ini belum ada aksi tegas dari Menhan kita yang "militer banget" terkait perairan Natuna. Kalah galak dari Menlu Retno Marsudi yang sudah memanggil duta besar Cina untuk menyampaikan kemarahan atas klaim mereka pada perairan Zona Ekonomi Eksklisif (ZEE) Indonesia.

Jadi apakah Prabowo dalam situasi ini memilih menjadi Mr. Nice Guy yang hanya senyum-senyum? Mungkin data-data berikut ini yang membuatnya sedikit keder dan ragu-ragu dalam mengambil sikap.

Data 2019 menunjukkan Indonesia menempati peringkat 16 dari 137 negara dalam hal kekuatan militer. Kekuatan Indonesia terdiri dari 400.000 personel militer aktif, 400.000 personel cadangan, dan 108 juta penduduk yang siap perang jika situasi mengharuskan.

Sedangkan Cina menempati urutan negara terkuat ketiga di dunia. Negeri Tirai Bambu itu memiliki 2,1 juta personel militer aktif, 510.000 personel cadangan, dan 621 juta penduduk yang siap perang jika situasi mengharuskan. Itu baru soal man power, belum lagi jika membandingkan teknologi dan jumlah alutsista.

Kendati demikian, bukan berarti sikap nice guy Prabowo bisa dijadikan pembenaran. Publik saat ini sedang menunggu aksi tegas njenengan, Pak.

Tidak harus dengan mengerahkan kekuatan militer. Melakukan pertemuan bilateral antara Prabowo dengan pihak Cina dan menyatakan sikap secara tegas, sudah cukup menjadi bukti kepada publik.

Menyoal kedaulatan Indonesia yang dirongrong asing, Prabowo bisa belajar dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Blok Ambalat sempat menjadi sengketa antara Indonesia-Malaysia namun berhasil diatasi melalui jalur diplomasi.

Kendati diselesaikan secara diplomatis, SBY tetap datang langsung ke kapal perang yang standby di perbatasan Malaysia. Tidak lain untuk menegaskan kepada negara tetangga bahwa Indonesia sangat siap untuk perang demi Ambalat.

Prabowo juga bisa belajar dari sejarah yang lebih kuno, era Raja Kertanagara. Menurut teori siklus Yunani, l'histoire se repete, sejarah itu bergerak melingkar. Peristiwa yang terjadi di masa lalu akan terulang kembali di masa sekarang maupun masa mendatang.

Indonesia bukan sekali ini saja dirongrong oleh Cina. Tujuh abad yang lalu, Cina yang kala itu dikuasai Dinasti Yuan dan dipimpin Khubilai Khan berkali-kali mencoba menginvasi Pulau Jawa yang kala itu masih bernama Jawadwipa.

Akarnya adalah kepercayaan kaisar Cina yang meyakini bangsanya dimuliakan Dewa Langit. Ia kemudian menganggap semua negara harus tunduk pada Cina.

Berlandaskan pola pikir itu, Cina membantu negara-negara yang bersedia memberikan upeti. Sebaliknya, menghukum negara yang tidak mengakui superioritasnya.

Jawadwipa menjadi satu-satunya wilayah di selatan Cina yang tidak mau mengakui superioritas Dinasti Yuan. Khubilai Khan pun mengirim utusan hingga tiga kali ke Kerajaan Singasari, yakni pada 1280, 1281, dan 1286.

Penolakan tegas dilakukan Raja Kertanegara. Tanpa segan ia merusak muka Meng Qi, utusan terakhir Khubilai Khan. Qi diketahui telah menjalin hubungan baik dan membujuk kerajaan-kerajaan lain di Nusantara serta Asia Tenggara untuk tunduk pada Dinasti Yuan.

Watak "Ahangkhara" membentuk pribadi Kertanagara sebagai raja yang merasa kuat, merasa lebih besar dan lebih unggul dari musuh-musuhnya. Ketegasan inilah yang sepatutnya diteladani Prabowo sebagai Menhan. Khususnya dalam menghadapi Cina di perairan Natuna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun