Sedangkan Cina menempati urutan negara terkuat ketiga di dunia. Negeri Tirai Bambu itu memiliki 2,1 juta personel militer aktif, 510.000 personel cadangan, dan 621 juta penduduk yang siap perang jika situasi mengharuskan. Itu baru soal man power, belum lagi jika membandingkan teknologi dan jumlah alutsista.
Kendati demikian, bukan berarti sikap nice guy Prabowo bisa dijadikan pembenaran. Publik saat ini sedang menunggu aksi tegas njenengan, Pak.
Tidak harus dengan mengerahkan kekuatan militer. Melakukan pertemuan bilateral antara Prabowo dengan pihak Cina dan menyatakan sikap secara tegas, sudah cukup menjadi bukti kepada publik.
Menyoal kedaulatan Indonesia yang dirongrong asing, Prabowo bisa belajar dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Blok Ambalat sempat menjadi sengketa antara Indonesia-Malaysia namun berhasil diatasi melalui jalur diplomasi.
Kendati diselesaikan secara diplomatis, SBY tetap datang langsung ke kapal perang yang standby di perbatasan Malaysia. Tidak lain untuk menegaskan kepada negara tetangga bahwa Indonesia sangat siap untuk perang demi Ambalat.
Prabowo juga bisa belajar dari sejarah yang lebih kuno, era Raja Kertanagara. Menurut teori siklus Yunani, l'histoire se repete, sejarah itu bergerak melingkar. Peristiwa yang terjadi di masa lalu akan terulang kembali di masa sekarang maupun masa mendatang.
Indonesia bukan sekali ini saja dirongrong oleh Cina. Tujuh abad yang lalu, Cina yang kala itu dikuasai Dinasti Yuan dan dipimpin Khubilai Khan berkali-kali mencoba menginvasi Pulau Jawa yang kala itu masih bernama Jawadwipa.
Akarnya adalah kepercayaan kaisar Cina yang meyakini bangsanya dimuliakan Dewa Langit. Ia kemudian menganggap semua negara harus tunduk pada Cina.
Berlandaskan pola pikir itu, Cina membantu negara-negara yang bersedia memberikan upeti. Sebaliknya, menghukum negara yang tidak mengakui superioritasnya.
Jawadwipa menjadi satu-satunya wilayah di selatan Cina yang tidak mau mengakui superioritas Dinasti Yuan. Khubilai Khan pun mengirim utusan hingga tiga kali ke Kerajaan Singasari, yakni pada 1280, 1281, dan 1286.
Penolakan tegas dilakukan Raja Kertanegara. Tanpa segan ia merusak muka Meng Qi, utusan terakhir Khubilai Khan. Qi diketahui telah menjalin hubungan baik dan membujuk kerajaan-kerajaan lain di Nusantara serta Asia Tenggara untuk tunduk pada Dinasti Yuan.